Waktu air dikumpulkan dalam wadah besar dan ditaruh di tempat tinggi, turun ke bawah cuma mengetel.
Sedih sekali, soalnya yang di bawah jumlahnya banyak, ratusan juta, dan di atas cuma beberapa ratus saja.
Ketelannya, jangankan bikin basah tenggorokan. Gigi juga engga. Apalagi bikin kenyang.
Dari kebiasaan, air itu baru mengalir ke bawah pas jelang pemilihan calon penguasa doang.
Alirannya juga ga deras. Eh eh eeh, belakangan ketahuan kalau itu air kotor. Kan sialan.
Kira-kira begitu pembagian kue di sini. Maka ga salah kalo Haji Oma Irama bilang : "yang kaya makin kaya, yang miskin biar rasah."
Ups maaf, salah. Yang miskin makin miskin maksudnya.
Kalau saya dan anda bertemu, pasti ga bakal nyangka kalau saya sudah sangat kaya. Soalnya, makan apapun rasanya enak selama itu judulnya makanan manusia. Tidur, jangan ditanya. Rebah di kardus juga bisa ngorok sampe ngiler segala.
Doi Beliau
Tapi sayang, meski air cuma mengetel ke bawah, kisruh di akar rumput justru paling rame. Soalnya dulu, waktu partai itu kehilangan muka gara-gara kadernya berakhir karir di bui, ada satu usulan besar nan jitu.
Si anu bilang, harus ada sosok yang didongkrak naik agar partai bisa dipercaya lagi. Berhasil, eh malah kebablasan. Saking jitunya, si pemberi percaya rela ribut sama kawan sejawat, rekan serumah atau teman sebangku.
Sedangkan segerombolan corong, justru berebut proyek jadi buzzer. Lewat media massa, media sosial atau di warung-warung kopi.
Hasilnya, batu kali digosok terus sampe menyerupai batu cincin. Belakangan, pake nyamain junjungan dengan sahabat Nabi Muhammad SAW segala lagi.
"Elu belajar ngaji di mane tong?" kata Kong Rohmani pasca nonton berita tipi.
Kredit
Ya sudah, memang terlanjur salah urus. Jadi yang bengkok kudu dilempengin. Pelan-pelan, jangan dipaksa keras nanti patah.
Hutang terlanjur pakai model riba. Padahal ke mana-mana ngakunya Muslim Indonesia yang bergaya gotong royong.
Soal riba itu sebenarnya bukan cuma urusan Muslim doang. Kristen kek, Katolik kek, Budha kek, Hindu kek, atau ga beragama kek, kalau masih mau libatin perasaan, pasti nganu.
Begini, Roni waktu itu bangun rumah. Lantaran salah pilih pemborong, dia dikibulin habis-habisan.
Duit ga ada sisa, bangunan ga kelar. Ujungnya, beresin rumah pake gade surat tanah segala.
"Nah abis ke sono-sini ga ade yang mau pinjemin, ye babi deh kite sikat," begitu tuturnya.
Dia pinjam Rp 30 juta di "Koperasi" pintu ketiga penyalur dana Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang dikucurin doku dari sebuah bank nasional. Kena potongan Rp 2 juta dengan alasan sistem administrasi, lalu dicicil dua tahun.
Begitu lunas, total pengembalian Rp 44 juta perek eh perak. Hampir 50 persen bengkak.
"Anjriiittt," tanggapan Nunu, kawannya yang merupakan aktivis Gereja Protestan di kawasan Jakarta Timur.
Bagi yang cuma ngandelin pikiran tanpa ngelibatin perasaan, ini soal biasa.
"Kan membantu," kata Juned, pemeluk Islam waktu ngobrolin soal riba.
Okelah kalau membantu. Meski dosanya diilustrasikan seperti menyetubuhi orang tua sendiri, tetap ada unsur membantu.
"Ho'oh pak, ibu saya birahi, saya juga birahi. Terus saya naikin ibu saya, boleh kan?" tanya Sodiq, teman diskusinya.
"Ya ga boleh, itu biadab," sahut Juned.
"Lho, Kok? Kan ada unsur membantu," kata Sodiq.
Akhirnya, diskusi bubar lantaran hujan dan Juned pulang dalam kegalauan. Soalnya, dia itu bos kantor rentenir. Anak-anaknya juga bergumul di bidang serupa yang disamarkan sebagai perusahaan pembiayaan.
"Iye juga. Tapi, kalo gue berenti, gue makan ape?" tanya Juned yang sebenarnya itu merupakan penghinaan terhadap Tuhan.
Jadi Temen Setan
Suwer, saya sangat ga percaya kalau riba sulit sekali dihindari. Sebab menurut keyakinan sendiri, Allah Subhanahuwwata'ala, Tuhan Yang Maha Esa, cuma menciptakan bisa, mau atau engga. Itu saja.
Saya umbar isyu riba itu kemana-mana. Maksud hati, biar dibantuin mikir. Eh malah dicaci. Yaudah, terima saja.
Belakangan, saya kebet-kebet soal Koperasi gaya almarhum Muhammad Hatta. Nah, ini dia.
Ga ada tumbal, ga ada yang diinjak. Naik satu, naik semua. Kaya selembar kain yang kalau ditarik ke atas satu bagiannya, semua ikut keangkat.
Jatuh, ga mungkin. Soalnya yang ada cuma kerja, kerja dan kerja. Sorry Pak Jokowi, saya pinjem ungkapannya.
Yaudah, saya ajak teman-teman dan semua orang membangun usaha bersama-sama.
"Modalnye?" tanya banyak kawan.
"Ada di pikiran dan perasaan," jawab saya.
"Lho, Kok? Modal duit maksudnye!" sanggah kawan.
"Iye ye, dari mane ye?" pikir saya.
"Pinjem ke bank aje," saran teman.
"Pale lo bau menyan. Oi, kite mau singkirin riba lu suruh pinjem ke bank," kata kawan yang lain.
Bisikan Mistis
Ke saya, Tuhan itu baiiiikk banget. Nafas dikasih gratis. Soal makan ya ketemu. Ngerokok ngebul terus. Tidur, pules banget.
Satu malam jelang pagi, saya bilang begini ke Tuhan :
"Ya Allah, kenalin saya dong sama orang yang duitnye banyak dan seniat."
Tuhan ga nyaut, tapi begitu jelang merem, Dia berbisik ke pikiran.
Kebutuhan rumah tiap hari terus meningkat. Punya tanah, ga punya duit. Giliran ada doku, pas-pasan. Alhasil, cari tambahan ke riba lagi buat bikin tempat tinggal.
Soalnya, harga bahan bangunan yang pasti naik, juga kadang dinaik-naikin pemborong. Akhirnya, harga bangunan menjulang tinggi. Padahal, rumah yang dibangun justru napak tanah nan kontet.
Melihat cerita Roni tadi, coba-coba deh benerin sendiri kontrakan ibu saya. Waktu itu, pemborong minta Rp 30 juta, sebulan baru selesai. Sedangkan perkiraan pribadi, Rp 15 juta seminggu kelar.
Saya nekat. Undang tukang lalu ngobrol sama Haji Lukman pemilik toko bahan bangunan Raja. Hasilnya, pengerjaan molor jadi 10 hari dengan biaya Rp 16.750.000. Eror sedikit.
Padahal yang ngitung tukang ngamen. Gimana kalau Insinyur, pasti eror jauh lebih sedikit.
Okelah, dari bisikan dan pengalaman itu, saya jadikan saja ini usaha dengan modal duit nol rupiah.
Manajer
Kira-kira empat malam lalu, saya temui Bang Jek (Mirza Jaka) pemilik warkop Epikurian, di samping Kampus IISIP Jakarta. Kepengenan tadi sampai di kuping dan pikirannya, kemudian dia sepakat saya gandeng tangannya.
Lalu, dua malam kemarin, saya ke Rumah Langit, di Condet, Jakarta Timur. Sebenarnya, janjian dengan Bang Roni Adi, pemegang tongkat komando Sikumbang Tenabang di sana.
Eh, keingetan. Bang Yuzar Mikail, pengelola Rumah Langit yang Insinyur arsitektur dan juga pemborong bangunan. Kebetulan, pikirannya juga agak gila. Jadi pas kalau dimintain bala bantuannya.
Sambil menyelam, ditawarin kopi. Ya minum saja.
Yuzar bersedia menopang rencana saya. Dia bilang, jangankan gambar. Kurang paku juga ditambahin.
Idenya, ketika ada klien yang mau dibuatkan rumah, Yuzar mengerjakan gambar detail rencana pembangunan, sekaligus menghitung kebutuhan material.
Gambar itu disodorkan ke klien. Setelah sepakat, pastinya harga material tidak dinaikkan sama sekali. Persis seperti yang dibanderol toko bahan bangunan.
Ga ada mark up. Tujuannya, supaya ongkos pembangunan bisa ditekan habis-habisan.
Di lapangan, umumnya honor tukang Rp 300 ribu sehari kerja plus lembur sampai malam. Tapi dari pengalaman, saya bayar Rp 250 ribu dengan catatan, makan, ngerokok, ngopi, tempat tidur dan lain sebagainya saya yang nanggung. Mereka senang.
"Bang, jadi pemborong aja sekalian. Pasti anak buahnya banyak kalo begini caranya," kata Ardi, tukang bangunan asal Cilacap, Jawa Tengah, waktu terlibat benerin kontrakan beberapa bulan lalu.
Dengan skema pembiayaan pembangunan yang telanjang seperti itu, mudah-mudahan semua senang.
Lalu, sebagai mandor (manajer) pembangunan saya dapat duit dari mana? Ya saya minta gaji dari yang ngasih proyek.
Kan, harga gambar ga ada mark up. Bahan bangunan juga honor pekerja dan lain sebagainya juga begitu.
Misal, pembangunan rumah butuh waktu tiga bulan. Yasudah, berapa ikhlasnya kasih saya gaji selama pengerjaan itu?
Eh ternyata yang punya hajat ikhlas bayar saya Rp 5 juta sebulan. Okelah, mufakat kita.
Pendapatan itu, kemudian dipotong Rp 2 juta. Satu juta untuk dibagi rata antara calo (marketing), insinyur, mandor, juga tukang bangunan, dan sejuta lagi masuk kas.
Lantaran ini bisnis bangunan dan kakek dari bapak saya akrab disapa Mandor Iyong, bolehlah saya usul usaha ini diberi nama The Mandors.
Oh ya, calo berhak atas komisi 2,5 persen dari total honor mandor Rp 5 juta tadi. Tapi ini, dibebankan kepada klien. Adil dan murah kan?
Menghimpun
Siapa yang percaya kalau saya menghimpun dana dari banyak orang untuk membangun usaha?
"Nah elu tukang ngamen, bekas wartawan, masuk ke dunia keuangan lu mao gile?" begitu komentar ibu saya, waktu nyahi (minum teh sore-sore ditemani gorengan) di teras rumah.
Betul juga, siapa yang percaya? Mengingat Koperasi modern mengalami kehancuran lantaran menjanjikan bunga pendapatan yang besar.
Setelah menggelar diskusi gerilya antara saya dengan Bang Jek, Bang Yuzar serta Bang Roni Adi, The Mandors sendiri, akhirnya dimaksudkan sebagai ajang pengumpulan dana membangun Koperasi.
Setelah berkembang bahkan mudah-mudahan membesar nanti, dana di kas The Mandors tadi, kemudian mengucur ke pihak yang hendak membangun usaha.
Tentu, kucuran bisa dilakukan setelah ada kajian mendalam terkait usaha yang mau dibangun.
Ga perlu dipulangin dengan cara kredit apalagi berbunga. Kelola saja yang benar agar usaha bisa maju.
Tapi catatan pentingnya, ada pembagian saham antara pihak yang bangun usaha itu dengan The Mandors. Besarannya 70-30 saja.
Pendapatan sebesar 70 persen, detail penggunaannya diatur mitra The Mandors. Sedangkan 30 persen, masuk kas.
Dana 30 persen itu juga dibagi lagi. Sebanyak 20 persennya, dibagi ke semua pihak terkait tanpa kecuali yakni, insinyur, calo, tukang bangunan, mandor, serta semua yang ada di mitra usaha The Mandors yang baru berdiri tadi, per enam bulan sekali. Sedangkan 10 persen, masuk kas.
Setelah pundi berisi banyak, 10 persen tadi, dikucur lagi ke calon mitra lainnya yang hendak membangun usaha juga. Tentu, tanpa perlu dikembalikan lewat cicil berbunga setelah proses seleksi ketat.
Skema antara pendapatan dan pengelolaannya, begitu saja terus sampai banyak orang yang terlibat dan banyak usaha mitra dibangun. Tapi jangan lupa, zakat harta 2,5 persen. CSR-lah kira-kira.
Soal azas usaha, AD/ ART, juga sistem keuangan, ga perlu repot bikin yang baru. Toh sudah ada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Koperasi. Pakai saja itu, cakep kok.
Soal bank, banyak yang beruntung dengan keberadaannya, tapi tidak sedikit juga kena jiret kemudian bangkrut lalu bunuh diri. Taruhlah dia ini iblis, tapi boleh dong sesekali diajak sembahyang.
Bang Jek kasih saran. Meski konsep dasarnya tanpa riba, perlu juga bank dilibatkan guna kemudahan transaksi, pengiriman duit, termasuk bahan copy neraca keuangan.
Saya sepakat. Asal, lupakan niat membiakkan doku lewat bank macam deposito itu.
Tertarik bergabung atau ngasih proyek? Mari sini sambil nyahi.
Casinos Near DC – Best Casino Sites in 2021
BalasHapusWant 수 있습니다 to get a quick look 해외 배팅 사이트 at some of the city's best casinos? We list the 룰렛 게임 best bet365es casinos in DC 메이저바카라 for you to try out.