Ada yang tidak bisa diukur logika. Tapi tetap, semua harus diperhitungkan dengan akal sehat.
Ketika manusia semakin maju, makin rumit pula berbagai cara yang ditempuh dalam upayanya mewujudkan konsep kebahagiaan dalam hidupnya.
"Makan, minum, berpakaian dan berumah tangga layak, juga ada pendidikan yang tinggi," begitu kira-kira pesan nenek jauh hari sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.
Pesan perempuan yang lahir jauh hari sebelum republik ini berdiri, memang sangat sederhana. Tapi di dalamnya, mengandung makna kuat. Aku pikir, kalau dipegang baik-baik yang dicari pasti ketemu.
Betul, zaman nenek masih perawan dan era sekarang sangat berbeda jauh. Kalau dulu cuma Kartini yang teriak soal emansipasi, sekarang ada jutaan yang bicara soal itu. Kalau zaman itu cuma ada koran yang penyebarannya sangat terbatas, sekarang ada internet yang siapapun bisa mengaksesnya.
Dan, tanpa disadari, ketika semua sendi bergerak maju, ada kemunduran cara berpikir manusia. Kenapa ? Karena yang gampang pun dibikin rumit.
Persamaan hak yang dituntut kaum hawa di dunia, isinya hampir sama. Saat laki-laki maju ke ranah politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan agama, perempuan pun minta porsi serupa. Akibatnya, hasil rumah tangga yang dibina dengan dasar cinta, sebagian besar dididik pembantu.
"Papa sibuk cari uang, mama repot berkarir. Kakak pulang sempoyongan, abang malah ga pulang-pulang. Yang paling kecil akhirnya kebingungan bertanya mana orang tua dan saudara-saudaraku," kata lirik lagu yang belum aku pernah aku nyanyikan.
Sebetulnya aku mau cerita tentang rumah tangga. Tapi soal Kartini yang lahir dari keluarga bangsawan Jawa mengusik pikiranku.
Ada seorang kawan yang sekarang sudah mapan bercerita tempo hari. Dia bilang, ketika masih bujang dan melarat, sulit sekali mendapatkan pendamping hidup. "Semua perempuan maunya sama laki-laki mapan," begitu katanya.
Temanku pun melontarkan gagasannya. Dia bilang, yang dimaksud laki-laki mapan itu sebenarnya harus dimulai dari kemapanan berpikir dan kemapanan mentalnya. Sebab, dimulai dari sini, si pria akan mencari nafkah untuk kemapanan finansial dengan cara yang benar dan tak bertentangan dengan norma apapun.
Perempuan modern itu egois dan takut miskin. Seharusnya, kemapanan rumah tangga dibangun bersama. Baik itu kemapanan aturan dan cinta, juga kemapanan finansial keluarga. Tapi perempuan sekarang (meski tidak semuanya) cuma mau berkawin dengan laki-laki yang mapan finansialnya.
Singkat cerita, meski masih membujang, kawanku mencapai kemapanan berpikir, mental dan finansial. Mengantrilah perempuan minta dinikahi. Dan di saat itu, dia bak pangeran yang digilai kaum hawa.
Satu perempuan dari kalangan biasa saja akhirnya dipilih jadi pendamping hidup temanku itu. Setahun, dua tahun, hingga satu dasawarsa, hidupnya bahagia.
Lantaran kasihan melihat istri cuma bengong di rumah usai mengurus anak-anaknya, dibuatkanlah satu usaha sederhana.
"Tidak perlu untung. Asal ga rugi dan biar istri ga bengong di rumah," kata kawanku menjelaskan maksud tujuannya membuatkan usaha untuk istrinya itu.
Lambat laun, usaha itu ternyata maju pesat. Sebagai konsekwensinya, kewajiban si istri di rumah tangga pun terbengkalai. Anak-anak yang masih jauh dari predikat dewasa, terpaksa dididik pembantu. Jatah bilogis suami pun, semakin sangat jarang diberikan.
"Berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut malam," kata temanku mengkritik istrinya. "Kadang-kadang, berangkat malam, pulangnya malah pagi," lanjutnya.
Dan, berantakanlah rumah tangga kawanku itu lantaran 'Kartini-nya' berani pulang pagi.
Ketika manusia semakin maju, makin rumit pula berbagai cara yang ditempuh dalam upayanya mewujudkan konsep kebahagiaan dalam hidupnya.
"Makan, minum, berpakaian dan berumah tangga layak, juga ada pendidikan yang tinggi," begitu kira-kira pesan nenek jauh hari sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.
Pesan perempuan yang lahir jauh hari sebelum republik ini berdiri, memang sangat sederhana. Tapi di dalamnya, mengandung makna kuat. Aku pikir, kalau dipegang baik-baik yang dicari pasti ketemu.
Betul, zaman nenek masih perawan dan era sekarang sangat berbeda jauh. Kalau dulu cuma Kartini yang teriak soal emansipasi, sekarang ada jutaan yang bicara soal itu. Kalau zaman itu cuma ada koran yang penyebarannya sangat terbatas, sekarang ada internet yang siapapun bisa mengaksesnya.
Dan, tanpa disadari, ketika semua sendi bergerak maju, ada kemunduran cara berpikir manusia. Kenapa ? Karena yang gampang pun dibikin rumit.
Persamaan hak yang dituntut kaum hawa di dunia, isinya hampir sama. Saat laki-laki maju ke ranah politik, ekonomi, sosial, budaya bahkan agama, perempuan pun minta porsi serupa. Akibatnya, hasil rumah tangga yang dibina dengan dasar cinta, sebagian besar dididik pembantu.
"Papa sibuk cari uang, mama repot berkarir. Kakak pulang sempoyongan, abang malah ga pulang-pulang. Yang paling kecil akhirnya kebingungan bertanya mana orang tua dan saudara-saudaraku," kata lirik lagu yang belum aku pernah aku nyanyikan.
Sebetulnya aku mau cerita tentang rumah tangga. Tapi soal Kartini yang lahir dari keluarga bangsawan Jawa mengusik pikiranku.
Ada seorang kawan yang sekarang sudah mapan bercerita tempo hari. Dia bilang, ketika masih bujang dan melarat, sulit sekali mendapatkan pendamping hidup. "Semua perempuan maunya sama laki-laki mapan," begitu katanya.
Temanku pun melontarkan gagasannya. Dia bilang, yang dimaksud laki-laki mapan itu sebenarnya harus dimulai dari kemapanan berpikir dan kemapanan mentalnya. Sebab, dimulai dari sini, si pria akan mencari nafkah untuk kemapanan finansial dengan cara yang benar dan tak bertentangan dengan norma apapun.
Perempuan modern itu egois dan takut miskin. Seharusnya, kemapanan rumah tangga dibangun bersama. Baik itu kemapanan aturan dan cinta, juga kemapanan finansial keluarga. Tapi perempuan sekarang (meski tidak semuanya) cuma mau berkawin dengan laki-laki yang mapan finansialnya.
Singkat cerita, meski masih membujang, kawanku mencapai kemapanan berpikir, mental dan finansial. Mengantrilah perempuan minta dinikahi. Dan di saat itu, dia bak pangeran yang digilai kaum hawa.
Satu perempuan dari kalangan biasa saja akhirnya dipilih jadi pendamping hidup temanku itu. Setahun, dua tahun, hingga satu dasawarsa, hidupnya bahagia.
Lantaran kasihan melihat istri cuma bengong di rumah usai mengurus anak-anaknya, dibuatkanlah satu usaha sederhana.
"Tidak perlu untung. Asal ga rugi dan biar istri ga bengong di rumah," kata kawanku menjelaskan maksud tujuannya membuatkan usaha untuk istrinya itu.
Lambat laun, usaha itu ternyata maju pesat. Sebagai konsekwensinya, kewajiban si istri di rumah tangga pun terbengkalai. Anak-anak yang masih jauh dari predikat dewasa, terpaksa dididik pembantu. Jatah bilogis suami pun, semakin sangat jarang diberikan.
"Berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut malam," kata temanku mengkritik istrinya. "Kadang-kadang, berangkat malam, pulangnya malah pagi," lanjutnya.
Dan, berantakanlah rumah tangga kawanku itu lantaran 'Kartini-nya' berani pulang pagi.
Komentar
Posting Komentar