Tepat Atau Tidak Hitung Saja Sendiri

Bagaimana rentetan korupsi terjadi sampai akhirnya layak disebut 'membudaya' di sini ? 

Meski minim bukti, aku berimajinasi banyak orang di sini melakukan cerita ini. Begini ihwalnya. Negara, hampir setiap tahun menyuntik modalnya kepada perusahaan-perusahaan yang dikuasai. Jumlahnya, kalau dibelikan cendol, mungkin seribu buah kolam seukuran stadion Senayan di Jakarta, bakal terisi penuh sampai tublek. 

Tahun 2010 sampai 2014, negara menyodorkan dana sebesar Rp 24,2 triliyun. Sementara periode sekarang di 2015 dan 2016 nanti, jumlahnya sebanyak Rp 104,2 triliyun. Ada 24 perusahaan yang bakal menerima. Meski program-program banyak diumbar, kebanyakan dari itu keseringan tekor kalau ditilik neraca perdagangannya. 

Mari tengok ke lapangan. Benar kata Rhoma Irama. "Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin." 

Si pemegang kendali di tingkat pimpinan perusahaan, meski berstatus pekerja negara, bandanya makin banyak. Memang, sulit sekali membuktikan tuduhan itu. Kalau mudah, bui milik KPK sudah pasti kudu ditambah luasnya lantaran tahanan bejibun. 

Meski sulit dibuktikan, dari pengamatan, semua pihak diguyur duit supaya hidup senang dan tak perlu ber-idealisme ria lagi. Tapi soal jago ngomong, tetap jadi syarat mutlak. 

Anjing penjaga kemudian datang mengendus bangkai. Meski penciumannya tajam tetap saja tak melihat letak persisnya bau busuk berasal. 

Salah kalau dibilang hidungnya tumpul. Ini, cuma lantaran si bangkai dikemas menarik dan wangi duit. Tiap kali bertandang, sekedar ongkos bensin seminggu saja masuk. Lantas diamlah dia tak menggonggong keras lagi. 

Anjing penjaga ada yang kecil ada juga yang bertubuh tinggi besar. Meski jumlahnya tak sebanyak anjing mungil, gigitannya mampu bikin kisruh ranah hukum-politik. 

"Selalu dijadikan sebagai bancakan partai politik. Dan dampak dari bancakan partai atas BUMN adalah, perusahaan selalu merugi, untung selalu minim, dan aset-aset perusahaan selalu untuk dijual oleh pemerintah," kata pemerhati anggaran Ucok Sky Khadafi kepada saya melalui pesan singkat ketika membahas besarnya Penyertaan Modal Negara kepada puluhan perusahaan milik pemerintah. 

Pendapat Ucok bisa jadi benar, mungkin juga salah. Benarnya, memang banyak anjing penjaga besar kudu masuk kerangkeng lantaran menggigit sembarangan. Yang digigit juga bernasib begitu. Salahnya, tidak semuanya juga berlaku demikian. 

Begitu juga anjing kecil yang sering menggonggong. Benar, kalau dulu dia menggonggong lantaran memang ada kesalahan, tapi sekarang belum tentu. Ongkos hidup mahal. Sedangkan dagangan cuma cerita. Semilyar - dua milyar rupiah untuk biaya operasional saja juga lumayan. Tapi, tidak benar juga jika dinilai semuanya begitu. 

Antara Hasil dan Banda' 

Gampang saja menebak mana penyamun dan yang bukan. 

Tempat bekerja dan pangkat boleh sama. Tapi soal pendapatan, belum tentu serupa. Ini cuma soal lihai atau tidak dan mau apa ogah. 

Aku bekerja dengan gaji Rp 150 juta sebulan. Jabatan yang diduduki setingkat Presiden Direktur Anu. Sudah 5 tahun posisi itu kukangkangi. 

Sebelumnya, selama 10 tahun aku berkarir di perusahaan milik negara yang biasa jual-beli minyak. Tiga tahun pertama, penghasilan paling top Rp 5 juta dengan biaya pengeluaran Rp 4 juta 750 ribu sebulan. Laba bersih cuma Rp 250 ribu yang tiap setahun sekali dipakai untuk keperluan libur ke Bogor, Jawa Barat atau sekedar berobat. 

Dua tahun berikutnya, penghasilan nambah jadi Rp 7 juta. Gaya hidup pun naik. Kalau sebelumnya cuma menunggang Honda Supra, saat itu berubah jadi Kawasaki Ninja 2 tak. Rokok juga seharga Rp 20 ribu sebungkus. Sehari, aku butuh dua bungkus. Sebulan, laba bersih cuma Rp 1 juta. 

Betul, sisa penghasilan masuk celengan. Sebagian jadi modal usaha, lainnya habis buat keperluan mendadak. Sampingan pun tak selamanya untung. Beberapa kali ketipu bahkan bangkrut pun berkali-kali. 

Dipangkas saja ceritanya. Setelah itu, berkat loby-loby dan modal cukup, aku meraih beasiswa sekolah di luar negeri dengan gaji 30 juta rupiah sebulan. Memang melonjak tajam. Tapi jangan kira modal hidup di Amerika itu murah. 

Tiga tahun selesaikan sekolah aku kembali ke kampung halaman membawa ijazah Doktor Spesialis Sedot Lemak Bumi. Posisi Wakil Presiden Direktur Anu sudah menunggu minta diisi dengan gaji sebanyak Rp 110 juta sebulan. Aku girang. Semua orang pun diundang untuk syukuran dan makan enak sampai kenyang. 

Dua tahun aku menjabat sebagai Vice President Director Anu, langsung melejit ke posisi puncak. Predikat 'wakil' dihilangkan lantaran Presiden mati kena darah tinggi. 

Aku baru tiga tahun duduk sebagai Presiden Anu. Mau tahu berapa banyak banda yang kupunya ? 

Celengan kira-kira sudah mencapai Rp 20 milyar-an. Jika dipecah, bagian-bagiannya tersebar menjadi 25.500 dollar AS, dan 830 gram emas. Tanah dengan NJOP Rp 7 juta 500 ribu juga aku punya seluas 1,8 hektare. Di rumah, ada mobil Toyota Alphard keluaran tahun 2012, Hyundai Avega kelahiran 2012 juga, BMW 323i tahun 2013 dan dua motor Yamaha Mio. Cuma itu hartaku. 

Aku tinggal di perbatasan antara Jakarta dan Jawa Barat. Rumah kubeli seharga Rp 8 milyar dengan uang muka 30 persen dicicil 12 kali. Anak paling tua, punya bengkel mobil senilai Rp 450 juta. Nomor dua masih kuliah di kampus lumayan bergengsi di Jakarta, dan yang paling bontot masih duduk di bangku SMA. Setahun sekali, Eropa saja bisa dikunjungi sekeluarga dengan kocek sangat cukup. 

Pendapatan banyak pengeluaran juga tak sedikit. Kebutuhan primer, sekunder atau sekedar kepinginan juga perlu biaya besar. Belum lagi anjing beserta kucing dapur bolak-balik melulu minta jatah. 

Saat masih duduk sebagai Wapres, jumlah banda kira-kira separuh dari yang sekarang. Tepat atau tidak, hitung saja sendiri.

Komentar