Tangkiwood


Ketika berbincang dengan Arswendo Atmowiloto melalui sambungan telepon soal glamournya hidup artis yang kemudian dikenal sebagai selebritis, Budayawan ini menyebut nama Tangkiwood, kawasan pemukiman para artis yang kini berubah menjadi kampung kumuh.
Arswendo bilang, di masa jayanya, para pemukim Tangkiwood juga hidup glamour layaknya bintang Hollywood. Tapi ketika redup, akhirnya kerepotan juga membiayai gaya hidup yang begitu besarnya.
Adalah Tan Hin Hie, saudagar Tiongkok yang punya peran besar terhadap berdirinya Tangkiwood. Di tahun 1913, raja ikan asin yang menguasai pasar Asia Tenggara ini datang ke Batavia kemudian mengambil peran besar atas kiprah Prinsen Park. Di sana, terdapat panggung Toneel Melajoe, bioskop, rumah produksi film serta galeri musik.
Bisa dibilang, nama Prinsen Park mulai mengkilap setelah kelompok komedi stamboel asal Surabaya, Jawa Timur, mentas di sana pada 30 Maret hingga 24 Mei 1894. Penghasilan bersih dari pertunjukkan itu mencapai 10 ribu gulden. Dari situ, banyak kelompok komedi tumbuh sambil memicu makin tumbuh suburnya gedung pementasan.
Fandy Hutari, penulis buku Hiburan Masa Lalu dan Tradisi Lokal : Kumpulan Esai Seni, Budaya, dan Sejarah Indonesia, menulis bahwa kemunculan grup-grup komedi di Prinsen Park kebanyakan diisi pemain pribumi yang buta huruf tidak seperti kelompok yang pemainnya berdarah Indo. Jadi, mereka tak mengenal naskah panggung. Semua percakapan merupakan hasil improvisasi.
Tapi, biar begitu, kelompok lawak pribumi masih menggunakan jurus tontonan berupa dansa tango, kabaret, tablo, walt serta poska yang dilengkapi kostum ala bangsawan barat.
Persaingan di Prinsen Park makin sengit setelah lahir kelompok Orion pada 1925 serta Dardanella di tahun 1926. Dua grup ini, disebut sebagai cikal bakal sandiwara modern yang melahirkan nama besar di masanya seperti Miss Riboet, Fifi Young, Ferry Kock, Miss Dja, Tan Tjeng Bok, serta Astaman yang dikenal sebagai ”The Big Five”.
Setelah kelompok Orion bubar lantaran kalah dalam persaingan, The Ten Chung, produser sekaligus pemilik perusahaan Film Jawa Industrial (JIF) menggaet Tan Tjoei Hock salah satu artis panggung yang sedang beken di masanya. Dengan begitu, nama-nama seperti Tjeng Bok, Moh Moctar, Bissu Usman, Roekiah dan Hadidjah mudah diajak hijrah dari panggung ke layar film beberapa tahun kemudian.
Saat Tjoei Hock dapat kepercayaan menjadi sutradara film di tahun 1939, Bissu memulai debut perdananya di gulungan pita film dengan membintangi beberapa judul seperti Oh Iboe dan Tjiandjoer. Sedangkan Tjeng Bok jadi bintang di judul Srigala Hitam bersama Moh Mochtar dan Hadidjah. Roekiah sendiri yang merupakan ibu dari penyanyi flamboyan Rachmat Kartolo bermain di film Terang Boelan tahun 1937.
Bukan cuma film yang membikin pemainnya hidup serba kecukupan bahkan lebih. Remy Silado menyebutkan, sejarah musik Jazz di Indonesia juga dimulai dari Prinsen Park. Pengarang lagu Indonesia Raya Wage Rudolf Supratman, di tahun 1920-an juga membentuk band Jazz Black & White dan sering mentas di sana.
Sepuluh tahun kemudian, Jacob Sigarlaki membentuk band dengan genre serupa Wage bernama Melody Makers. Komposisi pemain, diisi Bootje Pesolima, Hein Turangan, Nico Sigarlaki, dan Tjok Sinsu kakek dari musisi jazz Kibaud dan Ireng Maulana.
Prinsen Park yang berdiri di pusat pemerintahan Hindia Belanda akhirnya menjadi barometer kancah hiburan di tanah jajahan. Siapa saja yang mau eksis bahkan melambung namanya sebagai aktor, aktris, bahkan musisi atau penyanyi, kudu datang ke sini guna mencoba peruntungan.
Film cerita pertama berjudul Loetoeng Kasaroeng yang lahir sebagai proyek ambisius L Heuvevldrop dan G.Kruger dengan sokongan Bupati Bandung Wiranatakusumah, juga diproduksi di Prinsen Park yang disebut-sebut sebagai tempat hiburan kelas atas. Tak jauh dari situ, terletak Kampung Tangki yang menjadi cikal bakal Tangkiwood.
Ada dua versi riwayat yang menuturkan kisah pendirian Tangkiwood. Versi pertama mengatakan kalau pemukiman artis ini didirikan Tan Hin Hie sebagai wilayah satelit Prinsen Park. Versi kedua menyebutkan kalau Tangkiwood didirikan keluarga Idris Sardi.
Namun, dari keduanya memiliki benang merah yang sama yakni untuk memudahkan mobilisasi para artis di sana. Sebab seringkali order main film melayang sia-sia lantaran para bintangnya tinggal jauh dari Prinsen Park. Maklum saja, saat itu belum ada ponsel yang memudahkan siapa saja menyampaikan apa saja tanpa perlu khawatir soal jarak. Belum lagi dalam riwayat lain, Tan Hin Hie diceritakan merasa kasihan melihat para pemain sandiwara tidur di sembarang tempat seperti di panggung.
Ketika dunia perfilman tanah air makin menanjak di tahun 1950-an, nama Kampung Tangki ikut melambung. Sebabnya sudah jelas. Di sana, tempat bermukimnya para pelakon. Dari catatan yang ada, film Si Pitung yang melegenda juga melibatkan banyak penghuni Kampung Tangki. Bukan cuma artis yang bermukim di sana, warga biasa pun kebagian peran sebagai figuran. Meroketnya nama kampung Tangki sepertinya tak bisa dibendung. Selama kurun 1950 hingga 1960-an, ketika produksi film Indonesia terus-terusan meningkat, menjadikan pemukiman tersebut turut pula terekspose.
Menyikapi ketenaran Kampung Tangki, dalam satu pernyataannya almarhum Bing Slamet melontarkan candaan. Bunyinya kira-kira begini : “Kalau Amerika punya Hollywood, kita punya Tangkiwood,” begitu kata Bing. Dari situ, nama Kampung Tangki secara spontan berubah menjadi Tangkiwood.
Candaan Bing bukan tanpa niat. Dia memimpikan Tangkiwood juga kesohor layaknya Hollywood dan kualitas serta kuantitas film Indonesia turut mampu menyaingi kedigdayaan Hollywood di Amerika Serikat. Sebab beberapa nama besar tercatat bermukim di Tangkiwood saat itu. Mereka antara lain, Wolly Sutinah atau Mak Uwok, Pak Item, Ibu Supi, Fifi Young, Laelasari, M. Bissu, Haji Misbach Jusa Biran, Netty Herawati, Bing Slamet, Ateng, Iskak, Edi Sud, Aminah Cenderakasih, serta Idris Sardi yang dilahirkan di sana.
Cita-cita Bing Slamet, mendapat respon positif dari pemerintah Ibu Kota Jakarta yang juga menginginkan Tangkiwood jadi pusat perfilman tanah air. Tapi akhirnya, cuma jadi kembang tidur saja. Sebab menjelang tahun 1970, ketika produksi film mencapai puncaknya di dekade itu, ketenaran Tangkiwood justru meredup.
Meredupnya nama Tangkiwood, rupanya terus-terusan berlangsung hingga awal 1980-an gara-gara teknologi televisi mulai muncul. Para aktris dan aktor yang mulai kepepet, akhirnya memilih eksodus dari Tangkiwood demi mencari peruntungan di rumah produksi film lain di luar Prinsen Park.
Memasuki tahun 1985, Prinsen Park akhirnya benar-benar ditinggalkan. Begitu juga dengan Tangkiwood. Dan di awal tahun 1990-an, ketika rumah produksi film sudah menyebar kemana-mana, Prinsen Park malah berubah drastis menjadi kawasan hiburan malam yang dilengkapi diskotek, karaoke, hotel dan lain sebagainya. Sementara Tangkiwood makin tenggelam.
Sebenarnya, demi menahan laju eksodus para pelaku seni, Gubernur Ali Sadikin sempat mengambil langkah dengan merenovasi beberapa rumah milik artis serta figuran yang namanya mulai meredup. Tiap tahun, Bang Ali juga sering datang guna memberi santunan kepada mereka. Tapi sayang, upaya tersebut tak manjur hingga tak ada satu pun artis yang mau bermukim di sana.

Kini, kondisi Tangkiwood termasuk kawasan kumuh yang sumpek dan padat. Di sudut-sudutnya, berdiri rumah semi permanen yang terkesan asal bangun. Nama besar Tangkiwood pun cuma tinggal kenangan yang kini masuk dafar calon digusur Pemprov DKI Jakarta karena saking kumuhnya. Demi mengenang masa kejayaannya, beberapa artis masa kini mendirikan wahana berupa food court, fashion dan sarana hiburan lainnya di salah satu pusat perbelanjaan di Bekasi, Jawa Barat, dengan nama Tangkiwood

Komentar