Alexis sedang jadi sorotan gara-gara pertanyaan salah satu calon Gubernur DKI Jakarta, terhadap petahana.
Menurut beberapa kawan yang pernah berkunjung ke Alexis, di sana memang ada aktifitas penyewaan kelamin. Perempuan yang membuka warung, sementara laki-laki bertindak sebagai penyewa dengan duit sebagai alat pembayaran.
Di banyak kasus prostitusi, persoalan ekonomi menjadi alasan utama yang paling sering disebutkan. Kegencet, lalu cari jalan dengan cara begitu.
Lantas, sejak kapan persoalan ekonomi menjadi pemicu bisnis sewa kelamin hingga suplay dan demand terus terjaga? Dari banyak catatan sih, di era Mesir kuno pelacuran sudah ada.
Sebagai ibu kota negara sekaligus tempat menyandarkan mimpi kaum urban, Jakarta mau tak mau kudu dihiasi prostitusi. Dan ini, sudah berlangsung lama sejak Kompeni Hindia Belanda (VOC) melalui tangan Jan Pieterzen Coen, mendirikan kota Batavia sebagai jiplakan Amsterdam.
Dari catatan Hendrik E. Niemeijer yang diulas dalam Jakarta-Batavia Esai Sosio Kultural, disebutkan bahwa akar persoalan dari aktivitas prostitusi di Batavia pada akhir abad ke 17 adalah kemiskinan yang melonjak tajam lantaran pemerdekaan budak.
"Bukti dari arsip-arsip notaris menunjukkan bahwa pada akhir abad ke tujuh belas banyak dari para Mardijker (budak-budak Kristen yang dimerdekakan/ orang merdeka) adalah para budak yang baru saja dimerdekakan," begitu kata Hendrik.
Hendrik menjelaskan, kemiskinan di Batavia pada abad ke 17 jarang bisa dihubungkan dengan keadaan ekonomi lokal yang tidak menguntungkan, peperangan regional atau kelangkaan beras. Sebab, pada masa perang sekalipun, kota ini selalu terkait erat dengan perdagangan regional antar pulau mengingat perannya sebagai pusat dari jaringan luas rute perdagangan.
"Fenomena kemiskinan sebagai konsekuensi dari perbudakan khususnya kemiskinan yang disebabkan oleh pemerdekaan budak melalui wasiat," begitu tegas Hendrik.
Menurut catatannya, pada 1679 terdapat 5.348 orang Mardijker di Batavia. Jumlah tersebut, kemudian melonjak hingga 5.680 tahun 1686.
Jumlah Mardijker khususnya perempuan juga terus meningkat. Kalau pada 1679 jumlahnya sebanyak 1.438, di tahun 1686 angka itu melejit cukup tajam menjadi 1.823. Dan hampir semuanya, memiliki 'anak haram' baik itu dari laki-laki Eropa atau Cina.
Asal-usul Mardijker menurut Hendrik, didominasi pendatang India dari pantai Coromandel dan Bengal. Kebanyakan dari mereka, sudah dikristenkan saat menjadi budak dan menyandang nama-nama seperti Susanna van Bengalen serta Willem van de Cust (toponimi).
Lonjakan Mardijker perempuan paling tinggi terjadi antara tahun 1679 hingga 1680 dari 1.438 menjadi 1.858 jiwa. Sebagian besar dari mereka, boleh jadi, kebanyakan wanita tua. Sebab jumlah anak orang merdeka yang berumur lebih dari 14 tahun dengan jenis kelamin laki-laki di tahun 1680 mencapai 1.034 jiwa dan perempuan 1.115 orang.
Pasca pemerdekaan, para Mardijker segera menghadapi kemiskinan. Beratus-ratus budak perempuan yang dimerdekakan dengan nama-nama khas Kristen Belanda dan Portugis, mencari jalan untuk menghidupi diri dan anak-anak mereka.
"Usaha sering berakhir dengan pergundikan sebagai satu-satunya cara menyambung hidup," jelas Hendrik.
Kemelaratan di Era Batavia.
Kemiskinan di era tahun 1670-an sampai 1680-an di Batavia, didefinisikan berupa tak punya cukup sarana untuk hidup sehari-hari dan tempat berteduh. Berbagai komunitas masyarakat Asia Tenggara yang ada di Batavia, tak sanggup mengatasi kemiskinan dengan hubungan kekerabatan dan berbagai bentuk penghambaan atau perbudakan utang.
Dokumen para notaris menjelang akhir abad ke 17, memberi bukti tertulis soal praktek relasi utang orang Asia di Batavia. Mereka, menuangkan hubungan utang dalam berbagai kontrak.
Seorang Mardijker perempuan saat itu, juga bisa menggadaikan akta notaris pemerdekaannya seharga 60 rijksdaalder dan menebusnya saat punya duit. Mereka, waktu itu, banyak terlihat di jalanan dan di dekat gerbang kota Batavia menjajakan dagangan makanan atau tekstil.
Di sisi lain, lagi-lagi, banyak Mardijker perempuan yang mencoba menghidupi diri dalam pergundikan atau malah pelacuran.
Pemerdekaan budak yang memicu lonjakan angka kemiskinan di Batavia, terjadi pada akhir 1670-an. Pada 1681, pemerintah kolonial melakukan beberapa tindakan guna mengurangi epidemi lepra.
Beberapa pemilik budak, rupanya memutuskan memerdekakan budaknya demi menghindari ongkos pengobatan lantaran tertular lepra.
Betul, pemerintah kolonial sangat terganggu dengan menggelembungnya Mardijker miskin yang tak mampu menghidupi dirinya sendiri hingga sering berakhir pada pergundikan bahkan pelacuran.
Akhirnya, di tanggal 3 Mei 1686, pemerintah tinggi menerbitkan keputusan tentang pemerdekaan budak dengan wasiat. Artinya, pemilik baru bisa memerdekakan budaknya setelah Sidang Dewan Gereja memeriksa apakah budak-budak mampu menghidupi diri sendiri dan anak-anak mereka atau tidak, selama enam tahun. Atau, mereka menjadi tanggungan Dewan Diaken (badan penyantun orang miskin Gereja Reformasi Belanda).
Jika menilik dari wasiat yang dicatatkan para notaris saat itu, pasca diterbitkannya peraturan pemerintah tinggi, para pemilik budak memberikan banyak uang bagi Mardijker. Sebagai konsekuensinya, angka pemerdekaan budak menurun.
Di satu sisi, kemiskinan yang ditimbulkan pemerdekaan budak di Batavia, sebagian ditangani Gereja Reformasi Belanda (Gereformeerde Kerk). Setelah pembangunan gereja Portugesche Binnenkerk yang dibangun bagi para Mardijker berbahasa Portugis rampung pada 1672, disusul Portugesche Buitenkerk, sekarang Gereja Sion, para orang miskin dilayani di sini.
Sebabnya, dua gereja ini melaksanakan doktrin Calvinis yang menyebutkan bahwa melayani orang miskin adalah kewajiban agama. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar