Petasan, dalam perjalanannya, bermula dari dapur masak, kini dianggap membahayakan.
Abad ke-9 Masehi, seorang juru masak di Tiongkok, iseng-iseng mencampur tiga bahan bubuk hitam yakni garam peter atau yang biasa disebut kalium nitrat, belerang juga arang kayu. Hasilnya, gampang sekali terbakar.
Juru masak yang saya sendiri tak tahu namanya itu, kemudian membuat percobaan lebih lanjut. Sepotong bambu kosong diisi campuran tiga bahan tadi. Hasilnya, booom. Ledakan berdaya kecil tercipta.
Orang-orang Tionghoa percaya betul kalau temuan si juru masak yang setelah dicari sana-sini tak ketemu juga namanya, mampu mengusir roh jahat. Dalam perayaan pernikahan, kemenangan pasca perang, gerhana bulan juga upacara keagamaan, bom kecil yang belakangan dinamakan petasan dilibatkan. Tujuannya, seperti Ondel-ondel di Betawi, ya mengusir roh jahat.
Ketika Dinasti Song berkuasa di Tiongkok, pabrik petasan didirikan untuk pertama kalinya. Dari situ, petasan yang tadinya cuma menghasilkan ledakan, berkembang menjadi kembang api dan berbentuk pijar warna-warni meledak di langit.
Entah apa tujuannya dibuat kembang api itu. Apa untuk menakut-nakuti Pemilik alam semesta atau cuma bentuk luapan kegembiraan. Alasan kedua, rasanya lebih diterima, lantaran hampir semua penduduk bumi memakainya saat momen bahagia.
Alwi Shahab, seorang budayawan Betawi mengatakan kalau penduduk Jakarta sudah sejak lama menggunakan petasan saat perayaan pernikahan digelar. Dia bilang, ini meniru orang Tionghoa yang kebetulan bermukim di sekitar mereka.
Bukan itu saja. Ketika masuk bulan Ramadhan, anak-anak seusia saya di tahun 1990-an, gemar memainkan bubuk-bubuk mercon. Apalagi waktu lebaran. Jangan harap bisa tidur sore karena ledakan-ledakan kecil engga berhenti dari pagi ketemu pagi lagi.
Dan inilah salah satu dari sekian banyak musim di Indonesia, selain musim layangan, musim gundu atau musim biji karet. Musim petasan.
Ada yang melarang ? Ya engga. Sebab dulu masih banyak kebon atau lahan kosong untuk membuat rangkaian ledakan.
Barusan sekali, di televisi saya melihat berita penggerebekan pabrik petasan di sebuah kampung. Menurut salah satu warga yang ditangkap, ekonomi menjadi salah satu alasan aktifitas itu dikerjakan.
Ngomong-ngomong soal hubungan antara petasan dan ekonomi, saya punya pengalaman serupa. Di tahun 1990-an lalu, keluarga saya menjadi salah satu bandar petasan meski tak besar di kawasan Warung Buncit yang saat ini bernama Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Mungkin ada yang ingat nama Erik. Ya, dia abang saya paling tua yang sudah almarhum tahun 2006 lalu. Konsumen petasan di sekitar tempat tinggal saat itu, kenal betul nama ini sebagai bandar petasan.
“Beli di rumah Erik,” kira-kira begitu kata pembeli mengabarkan.
Bukan cerita bohong, aktifitas jual beli petasan betul-betul membantu putaran roda ekonomi keluarga saat itu. Ongkos makan, sekolah, bayar listrik dan lain sebagainya, berasal dari duit petasan. Bahkan belakangan, orang tua saya membeli pesawat televisi merk Konka yang sering diledek menjadi Konak, juga dari duit petasan.
Satu ketika di tempat pengajian, seorang Ustadz bilang kalau badan saya bau petasan. Entah itu ledekan atau benar adanya, saya sih terima saja karena memang di rumah petasan berdaya ledak sangat rendah menumpuk.
Saya baru tahu kalau petasan sudah dilarang sejak lama. Waktu Belanda masih mengurus roda pemerintahan di sini, barang tersebut masuk ke dalam kategori barang gelap. Dilarang dan diatur dalam Lembaran Negara tahun 1940 nomor 41, tentang pelaksanaan Undang-Undang Bunga Api tahun 1939.
"Membuat, menjual, menyimpan, mengangkut bunga api dan petasan yang tidak sesuai standar pembuatan.” Kira-kira begitu isinya. Kalau dilanggar, ancamannya masuk bui selama tiga bulan.
Di zaman Presiden Soekarno, aturan ini dianggap uzur. Pemerintah kemudian menetapkan Undang-Undang Darurat tahun 1951 yang hukumannya bisa 18 tahun penjara.
Baru Benar-benar Dilarang
Lantaran kebutuhan tempat tinggal di Jakarta terus meningkat, lahan-lahan kosong makin menyusut. Akibatnya, arena bermain petasan hampir habis.
Di Warung Buncit sendiri, waktu itu, sekitar tahun 1996, lahan main mercon berpindah ke jalan raya. Setelah sembahyang Subuh di bulan Ramadhan, anak-anak memenuhi tepi jalan untuk membakar petasan. Terjadilah main perang-perangan antara anak gang ini dengan anak gang seberang.
Pemuda hampir dewasa, rupanya tak tahu diri dengan ikut terlibat perang petasan anak-anak. Begitu mercon habis, batu, botol dan benda-benda keras lainnya menggantikan posisi mainan tersebut. Celurit, golok dan pedang juga ikut serta.
Pagi-pagi betul, beberapa petugas dari Polsek Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, datang ke rumah. Oleh-oleh yang dibawa, surat perintah agar keluarga Solehuddin, bapak saya, menghentikan aktifitas jual-beli petasan.
Mau gimana lagi, ya dituruti sajalah, dari pada berabe. Toh gara-gara berlanjut jadi tawuran, guru ngaji di Masjid juga sudah teriak-teriak lewat toa pengeras suara agar berhenti main petasan.
Terorisme dan Petasan
Tahun 2000, Indonesia diguncang bom yang sengaja diledakkan di Bursa Efek Jakarta. Dari situ, ledakkan lainnya menyusul.
Kirain sudah reda. Pada 5 Agustus 2003, bom mobil meledak di Hotel JW Mariott. 12 orang mati dan 150 lainnya luka-luka.
Kemudian, pada 9 September 2004, lagi-lagi bom mobil diledakkan di depan Kedubes Australia pukul 10.30 waktu setempat. Sembilan orang tewas, 161 lainnya cedera.
Pada 17 Juli 2005, JW Marriot dan Ritz Carlton di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan dibom. Dua bom meledak di hotel mewah yang saling berdekatan itu. Akibatnya, tujuh orang tewas dan lebih dari 50 lainnya luka-luka.
Tepat di hari peringatan pembunuhan Jenderal-Jenderal Angkatan Darat, di 30 September 2010, sebuah bom yang terbuat dari paralon, priuk nasi, karbit, mesiu dan paku meledak di kawasan Sumber Artha, Jalan KH. Noer Ali, Kalimalang, Bekasi.
Pada 14 Januari 2016, sekitar pukul 11.40 WIB, sebuah ledakan terdengar di Starbucks Cafe, Gedung Cakrawala, Sarinah. Berselang 20 detik kemudian, ada lagi ledakan di pos lalu lintas depan Sarinah. Tak hanya meledakkan bom bunuh diri, pelaku teror lainnya juga mengenggam senjata api.
Selain para pelaku teror, ada pula empat korban warga sipil yang meninggal dunia dan 25 korban yang mengalami luka-luka.
Baru-baru ini, pada 25 Mei 2017, bom bunuh diri diledakkan di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur. Dua kali meledak. Pertama jam 21.00, dekat toilet umum, 15 menit kemudia di sekitar Halte TransJakarta. Tiga orang anggota Polisi tewas dan sebelas warga sipil luka-luka.
Di Jakarta dan wilayah lain seperti Bali, Solo dan Poso, ketakutan terhadap ledakan bom, alang bukan kepalang. Salah-salah meledak, di kira petasan ga taunya betul-betul bom. Sebab bukan apa-apa. Sejak aksi tawuran gara-gara petasan, mulai ada mercon yang daya ledaknya hampir menyerupai petasan milik teroris.
Komentar
Posting Komentar