Jadi Orang Kaya. Lho, Kok?


Berapa kali masyarakat menjerit saat harga pangan melonjak naik? Berapa kali juga pemerintah menjanjikan semua bakal stabil?

Lalu, siapa yang tahu kalau petani, baik pemilik atau buruh sering meringis?

Ini oleh oleh yang saya janjikan setelah pulang ke Jakarta.

Jadi begini, sejak masih duduk di bangkus SMA, saya selalu bermimpi jadi petani. Mengelola lahan sekian hektar, agar soal makan ga terus-terusan pusing. Semua ada di sekitar dan tinggal ambil.

Selanjutnya, mungkin juga umur bakal panjang lantaran udara segar selalu didapat sejak bangun tidur sampai merem lagi. Tapi, setelah ada pintu rejeki belajar angkat pacul, persoalan rupanya tidak sesederhana itu.

Bayangkan, waktu panen pertama brokoli, Erwin, teman yang menggiring saya ke lahan perkebunan di Pakuhaji, Cimahpar, Kabupaten Bandung Barat, menikmati pendapatan sebesar Rp 20 ribu untuk tiap kilogram hasil tanamannya, menjelang Natal dan tahun baru lalu.

Dalam hitungan minggu, harga melorot jadi Rp 16 ribu, lalu anjlok ke posisi Rp 8 ribu, terus rontok lagi sampai Rp 3.500 perkilogramnya.

Harga terakhir, masih bertahan di posisi segitu sampai hari ini.

Dia kesal bukan kepalang, lantaran ongkos tanam termasuk upah pekerja tidak sebanding dengan pendapatan. Sementara baru saja saya tahu, harga segenggam brokoli sebesar kepalan tangan orang dewasa dengan berat hitungan gram, diecer Rp 7 ribu. Ini gila.

Di kebun yang cuma seluas 52 tumbak (satu tumbak ukuran panjangnya 14 meter, lebar 2 meter), saya bersama Erwin yang belakangan sepakat jalin kongsi, akhirnya mencabuti sebagian tanaman brokoli dan menggantinya dengan tomat.

Masih jauh dari separuh lahan tanam, kami menyerah karena memang butuh tenaga besar. Sementara saya, baru beberapa meter ayunan pacul menggemburkan tanah, keburu kelelahan.

Betul, kami sangat butuh bantuan dua pekerja. Tapi melihat harga yang terus anjlok, ongkos terbilang mahal. Rp 70 ribu sehari perorang.

Kami berharap, setelah menunggu tiga bulan sejak pertama kali bibit tomat ditanam, harga jual panen pertama menjelang Lebaran nanti bisa bagus. Tapi apa iya ini bisa berhasil melihat upah pekerja terbilang lumayan?

Oh ya, di sana kami mendapat arahan dari Pak Ajuh terkait seluk beluk pertanian. Doi beliau, membagi pengetahuan dari mulai angkat pacul, membuat bibit tanaman, hingga ke mana hasil panen itu harus dijual.

Ke Mentor

Melihat perbandingan harga antara kebun dan pasar, saya ajukan pertanyaan ke Pak Ajuh. Kenapa bisa begini pak?

Dia bilang, ini sebenarnya hal yang wajar. Pertama lantaran stok melimpah, kedua, tiap sayur-mayur yang dibeli bandar pasti ada yang rusak saat dibawa ke pasar.

"Lahan tanam itu bukan cuma di sini. Banyak sekali. Biasanya, kata bandar, tiap belanja 100 kilo, ada 50 kilo yang rusak atau busuk. Makanya harga beli di sini (di kebun) murah," begitu jelas dia kepada saya.

Apa iya, dari 100 kilogram itu bisa rusak 50 kilogramnya?

"Di perjalanan bisa rusak. Selama di simpan nunggu pembeli yang datang di pasar, bisa juga rusak karena lama," masih kata Pak Ajuh.

Tapi kenapa harga bisa semurah itu di kebun sedangkan di pasar mahal?

"Ya itu tadi jawabannya. Kalo soal harga mahal di pasar, karena permintaan rendah karena stok banyak bisa juga jadi penyebabnya. Memangnya kamu maunya gimana?" katanya sambil menabur benih tomat agar menjelma jadi bibit.

Saya pikir, kemauan saya cuma bagaimana caranya harga di tingkat petani bagus terus dan di tingkat konsumen juga ga melonjak terus. Yang akhirnya, kesejahteraan petani juga buruhnya bisa didongkrak dan masyarakat berpenghasilan rendah bisa terus konsumsi makanan sehat. Begitu.

Memang, selain di Pakuhaji, areal tanam banyak sekali. Tapi, ada berapa juta mulut orang kota yang harus terus makan tiap hari ?

"Iya, bagaimana caranya?" tanya Pak Ajuh. Kemudian saya terdiam saat itu.

Saya bukan mau memproklamirkan diri sebagai revolusioner ke kiri-kirian. Tapi rasanya, kalau harga di pasar tinggi dan pendapatan petani memble, jelas ada yang engga adil. Sementara pemerintah, sudah kualahan menghadapi mafia pangan.

Sebab hari terakhir saya di kebun, Pak Ajuh tampangnya kelihatan runyem. Katanya sih pusing karena belum bayar upah pekerja sebesar Rp 70 ribu sehari.

Nasib

Di kebun seluas 8 hektar yang dikelola Pak Ajuh, ada 17 orang pekerja yang dilibatkan. Kalau tiap buruh sehari Rp 70 ribu dan dibayarkan seminggu sekali, berapa dia keluar duit?

Lantaran harga jual sering jatuh, maka bukan mustahil dia sering pusing sebab ongkos tanam, pemeliharaan dan harga jual sering engga sebanding.

Belum lagi, dia sudah mengikat janji dengan para tengkulak. Caranya, memakai duit cukong untuk ongkos tanam. Dari situ, rupanya Pak Ajuh tak punya posisi tawar untuk mendongkrak harga. Singkatnya, harga ditentukan sepenuhnya oleh para tengkulak.

Entahlah, upah sebesar Rp 70 ribu sehari yang diberikan Pak Ajuh kepada pekerjanya, cukup atau tidak guna menutup ongkos hidup tiap hari. Tapi melihat harga beras tempo hari di posisi Rp 14 ribu perliter, sepertinya tidak.

Mang Dede, salah satu pekerja bilang, dia kudu mengeluarkan Rp 40 ribu sehari cuma untuk ongkos perjalanan pergi-pulang dari rumahnya di Padalarang, menuju kebun di Paku Haji.

Lantaran dirasa berat, dia pilih tidur di gubug bambu beratap plastik, dan pulang seminggu sekali cuma untuk nengok keluarga. Pasti, tiap malam dia kudu melawan hawa dingin yang sangat mampu membacok tulang.

"Anak saya minta kuliah nanti. Yang satu lagi mau jadi Polwan. Makanya mending saya ga pulang," kata Mang Dede yang belakangan saya tahu, dia buta huruf.

Sementara Mang Apih yang juga buta huruf, memilih tinggal di tempat yang sama bersama istri dan anak bayi, cuma demi punya tabungan bagi masa depan anaknya.

Dari hasil pantauan, mereka semua cuma bisa menikmati kenyangnya makan nasi sehari sekali. Itu juga memang jatah semua pekerja di tengah hari. Selebihnya, mie instan yang direbus bersama sayuran sisa, harus mampu mengganjal perut.

Cukup ga cukup, harus cukup. Begitu kira-kira kondisi mereka. Padahal, harga sebungkus rokok Sampoerna kretek saja sudah di atas Rp 10 ribu.

Gagasan

Belakangan, tiap kali nongkrong di WC, saya sering dikasih ide yang mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan soal bagaimana caranya pendapatan petani meningkat, kesejahteraan buruh kedongkrak, dan harga eceran tak perlu melonjak-lonjak.

Rasanya, memang perlu ada mata rantai distribusi pangan baru melihat jurang harga di tingkat petani dan konsumen begitu jauh.

Kalau sekilogram brokoli dihargai Rp 3.500, sementara segenggam dengan berat hitungan gram di pasar terus bertengger Rp 7 ribu, apa ini engga gila?

Memang berapa sih ongkos angkut dari kebun ke pasar? Kalau sewa kios mahal, berapa besar sih harus dikutip dari tiap kilonya untuk menutup biaya ini?

Apa iya barang-barang ini harus dijual di pasar yang sudah ada? Padahal pemerintah yang selalu mengandalkan operasi pasar, sering juga gagal meredam gejolak harga.

Bahkan kebijakan impor seperti soal beras tempo hari, justru membuat pendapatan petani terpuruk. Soalnya, keputusan ini dibuat justru menjelang musim panen.

Apa mungkin karena mafianya terlalu banyak mulai dari tengkulak, lintah darat, pengambil kebijakan sampai ditingkat pengecer? Apa pengecer kewalahan hadapi pungli preman pasar? Wallahu a'lam.

Baiklah, begini idenya. Melihat ongkos produksi yang besar terutama upah pekerja dan harga jual memble, saya harus melibatkan Mang Dede dan Mang Apih guna mengelola lahan perkebunan yang cuma 52 tumbak itu.

Sebab harus diakui kalau angkat pacul itu berat sekali. Dan gaji pekerja itu, meski kecil tapi berat.

Saya tawarkan kalau penjualan hasil panen nanti, dibagi empat saja antara saya, Erwin, Dede dan Apih.

Porsinya, 40 persen untuk pekerja, 30 saya, dan 30 persen lagi Erwin. Dengan jam kerja bagi buruh, cuma dari pukul 16.00 sampai 17.30.

Tanpa negosiasi sedikitpun, Mang Dede dan Apih setuju. Sebab menurut mereka, ini kerja sampingan yang lumayan.

Rencana jauh ke depan, saya dan Erwin ingin menyewa lahan yang jauh lebih luas lagi. Sementara yang sudah ada, mungkin akan diserahkan ke pekerja lain.

Mang Dede dan Mang Apih, tetap dilibatkan. Dan tentu, tambahan pekerja diperlukan sebab kami berencana mengelola lahan hitungan hektar.

Kami bersepakat, tidak ada yang namanya gaji. Tapi hasil panen, dibagi rata saja dengan sedikit uang penjualan disisihkan untuk melebarkan areal tanam di tahun-tahun berikut.

Tujuannya, agar ada rasa kalau kebun itu adalah milik bersama. Ga ada bos, ga ada anak buah. Yang ada cuma mitra kerja. Dan segala keuntungan juga kerugian dinikmati bersama.

Mata Rantai Baru

Selama di kebun, saya terus menjalin komunikasi dengan beberapa orang kawan. Iya, saya memohon bantuan karena ini tak bisa dikerjakan sendirian atau cuma berempat saja.

Karena minta dirahasiakan, tiga orang teman di Jakarta mau membantu dengan menempati posisi sebagai pemegang mata rantai distribusi.

Tujuannya, menyederhanakan jalur distribusi agar tak ada lagi yang namanya tengkulak, juga ga perlu mampir ke pasar. Jadi dari kebun langsung ke konsumen.

Selain itu, agar hasil bumi tak perlu menunggu pembeli sampai barang harus mengalami pembusukkan lantaran kelamaan disimpan. Jadi, sebelum sampai ke tangan, pembeli sudah memesan bahan pangan lebih dulu.

Syaratnya, selain keahlian membaca peluang, pemegang jalur distribusi perlu berkomitmen ke dirinya sendiri agar hilang hasrat menumpuk harta.

Artinya, definisi jadi orang kaya disepakati dulu menjadi : Yang penting makan sehat dan cukup, yang penting tidur pules, yang penting soal kebutuhan primer ga pusing.

Kalau misalnya kalau harga cabe Rp 30 ribu sekilo, kami jual Rp 20 ribu, dan ini sudah cukup menafkahi semua yang berperan, apa kamu ga mau beli?





Komentar