Obsesi di Tanah Bahenol




Saya lupa sudah berapa banyak tempat wisata Jawa Barat dikunjungi selama empat bulan terakhir. Pada promosinya, bisa dibilang mengundang gairah. Tapi begitu tiba, kok rasanya seperti dipalak ?

Mungkin berlebihan jika menggunakan kata "dipalak". Tapi bagi turis bergaji tiga juta rupiah lebih sedikit, kunjungannya justru bikin perut mules.

Dusun Buatan

Di Bandung Barat, ada Dusun Bambu. Dari namanya, terbayang lokasi asri menurut kebiasaan orang Sunda yang berkarib dengan alam. Desa.

Hampir lima jam roda dua saya arahkan ke sana dari Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Begitu tiba pagi-pagi sekali, saat pegawai belum hadir seluruhnya, saya dicegat empat orang petugas yang mengatakan bahwa selembar cebanan (sepuluh ribu rupiah) harus diserahkan sebagai tarif parkir.

Pasca itu, saya langkahkan kaki menuju loket masuk. Dengan tarif 25 ribu, halal tapak saya lanjutkan perjalanan ke dalam Dusun Bambu melintasi area persawahan kecil yang nampaknya dibuat cuma sekedar hiasan.

Setiba di dalam, susunan beton berdiri kekar. Jauh dari kesan dusun. Restoran ala perkotaan, jembatan melintang entah berapa panjangnya, danau buatan, serta beberapa wahana sederhana berisi ular, ketapel, senapan tembak dan lain sebagainya. Semua serba buatan mengandalkan semen, pasir juga aspal termasuk besi baja.

Anda dilarang masuk wahana-wahana tadi sebelum membayar karcis senilai 25 ribu rupiah untuk tiap pintunya. Kalau tak mau, ya cuma boleh lihat-lihat saja dari luar sambil menyusuri jalan aspal.

Di sini, jangan coba anda bawa makanan dari luar. Sebab jika ketahuan petugas anda mengunyahnya di arena wisata, tilang 250 ribu rupiah jadi hukumannya. Ini tertulis di beberapa papan pengumuman kecil.

Sementara, melihat banderol tiap jenis kudapan di menu makanan, saya pribadi memilih menahan lapar sampai ada rasa ingin keluar arena.

Air Panas

Beberapa malam saya habiskan di kota Bandung. Bersama dua orang kawan musisi yang tak terkenal, pagi-pagi sekali roda dua berputar menuju pemandian air panas Cibolang, di areal perkebunan teh Malabar milik PTPN, Pengalengan, Bandung Selatan.

Sebelum menyorongkan kemudi ke dalam areal, wajib tiga lembar cebanan di setor ke penjaga gerbang untuk satu karcis. Baru setelah itu boleh masuk.

Kawasan ini, didesain bergaya terpaksa modern. Mungkin modalnya sangat minim jadi jauh dari kesan nyaman.

Betul, air panasnya langsung keluar dari celah batu bukit yang jadi latar belakang pemandian itu. Panas sekali. Mungkin kalau mie instan dicelupkan bisa langsung matang.

Tapi saya tak bisa langsung menceburkan diri begitu saja. Soalnya tak ada loker penyimpanan barang. Kalau mau pakai saung bambu sederhana, harga sewanya 25 ribu untuk dua jam.

Setelah mandi di kolam renang besar, anda boleh membilas badan di ruangan yang mirip toilet umum di terminal kumuh. Tarifnya tiga ribu perak. Kalau mau lanjut rasakan terapi ikan, bayar lagi 15 ribu rupiah.

Di situ, ada arena yang entah untuk permainan apa. Kosong melompong tanpa ada aktivitas. Ada juga kolam perahu kayuh yang cuma sebesar kolam ikan. Kalau mau masuk, bayar dulu 20 ribu.

Hari sudah sore. Kalau mau kembali ke kota Bandung pun terlalu jauh. Akhirnya, kami bertiga nginep di vila setarif 600 ribu semalam.

Bangunannya terbuat dari kayu dan kaca. Namun ruangannya tak pernah dibersihkan. Jangankan kain pel, sapu saja sepertinya tak pernah menari lantas mengusir debu.

Di tiap sudut plafon, sarang laba-laba menjadi hiasan. Sedangkan di laci dan lemari, abu serta puntung rokok dibiarkan begitu saja.

Ketika berbaring di kasur bersprei bau, tiba-tiba seekor kecoa melintas di atas kepala. Ya sudah saya jadikan teman saja sekalian.

Malam, kami butuh kudapan juga kopi. Sementara warung berjejer, cuma menyuguhkan Indomie, pop mie dan segala macam makanan instan yang tak benar-benar mampu mengobati lapar. Apa boleh buat, sikat saja sekalian.

Tiga mangkuk mie instan, tiga gelas kopi sachet, dan tiga gelas plastik air mineral. Harganya 70 ribu rupiah.

Meski begitu, saya memilih bertahan selama dua malam di perkebunan itu lantaran kepingin tahu ada apa saja di situ.

"Ada kawah burung di atas bukit sana," kata Pak Deni yang memandu kami.

Pagi-pagi kami menyusuri bukit menuju kawah yang dimaksud. Ternyata, cuma hamparan kecil batu kapur di tanah dengan kemiringan sekitar 30 derajat.

Biasa saja. Tapi dari situ, kelihatan hamparan kebun teh memamerkan kemolekannya. Beberapa balong ikan dan sejumlah kecil ladang sayur menjadi pelengkap. Sementara di beberapa titik, rumah penduduk berjajar

Melihat indah dari atas, saya turun ke bawah dan menyusuri tiap sudutnya. Sayang, setelah sekian ratus langkah, onggokan sampah rumah tangga juga sisa warung menjadi suguhan. Jorok dan merusak.

Rasanya, kalau kawasan ini kena sentuhan arif nan strategis, justru menjadi sumber pendapatan maksimal bagi penduduk dan PTPN sendiri.

Soalnya, potensi besar terkandung di situ. Pohon kopi tumbuh subur, air melimpah meski kemarau, peternakan sapi perah, juga kolam ikan yang jumlahnya puluhan.

Bergeser ke Bogor

Beberapa waktu kemudian, saya datangi kawasan Bogor Barat. Di sana, ada beberapa air terjun yang cukup eksotis. Curug Nangka, Luhur, Cipeteuy, Ciampea dan satu situs megalitikum bernama Arcadomas.

Saya pilih secara acak. Pertama Curug Ciampea yang letaknya di Tenjolaya.

Memasuki kawasan ini, setelah melintasi jalan pedesaan yang sedang diperbaiki, hamparan sawah membentang di sepanjang pandangan. Setelah menanjak di jalan setapak terjal melewati beberapa makam, ada areal parkir motor.

Saya tak membayarnya karena datang bersama dedengkot jagoan setempat. Masuk gerbangnya pun tak ada yang berani menagih duit karcis.

Kira-kira, butuh waktu 1 jam berjalan kaki menuju air terjun via hutan pinus yang asri. Ketika tengok ke belakang, hamparan sawah dan rumah penduduk lebih mirip lukisan. Indah sekali.

Ada beberapa saung bambu tersedia bagi pengunjung yang capek kaki. Tempat sampah juga siaga di beberapa titik. Belahan dua jalur sungai, dialiri air jernih yang jauh lebih sehat ketimbang air minum kemasan.

Tariklah nafas dalam-dalam sebab di situ ada kesempatan membersihkan paru juga saluran nafas. Sementara langkah kaki berfungsi membakar kalori dan mendorong degup jantung sedikit lebih cepat.

Namun sayang, setibanya di air terjun, suasana lebih mirip pasar kaget. Pedagang asongan yang menjaja mie instan, pop mie, air minum kemasan juga kopi sachet, bersaing berebut rupiah.

Saya pikir, kalau para pedagang ini dilokalisir dan tak menjual makanan dan minuman jenis tadi, pasti jauh lebih keren. Kuliner tradisional saja.

Dari situ, saya bergeser ke Curug Cipeteuy yang beberapa puluh meter dari gerbang masuk berdiri situs megalitikum Arcadomas. Kawasan ini masih didominasi hutan pinus.

Namun lagi-lagi, ketika perut lapar, kudapan yang tersedia masih sama saja. Serba instan paling top cuma gorengan saja.

"Lagi kemarau jadi curugnya kering," begitu kata penjaganya.

Wah, kalau begitu saya cuma lihat onggokan batu kali dong. Padahal lebih dari dua kilometer harus berjalan kaki. Ya sudah saya urung niat dan lebih memilih memperhatikan Arcadomas.

Bidadari Cikoneng

Letaknya sekitar satu jam berkendara dari Jakarta. Dari Sirkuit Sentul, arahkan kendaraan menuju kawasan elit Bukit Pelangi. Dari situ, lurus lagi menuju desa Bojong Koneng.

Tak ada penunjuk arah yang memastikan di mana Curug Bidadari Cikoneng berada. Jadi perlu juga sesekali bertanya.

Memasuki kawasannya, kudu menyusuri jalan rusak. Sekitar satu kilometer sebelumnya, saya dicegat empat orang pemuda yang nongkrong.

"Partisipasi retribusinya pak, seikhlasnya," kata salah satu pemuda bermasker kain Baduy. Baru setelah itu boleh melintas.

Tak berapa jauh, saya dihadang lagi. Kali ini seorang pria paruh baya bertopi loreng orange hitam. Kalimat yang dilontarkan sama saja dan baru boleh lanjutkan perjalanan.

Di gerbang masuk, dua batang portal besi melintang. Tampaknya tak pernah dibuka. Belasan pria bertampang sangar berdiri di sana.

Mereka bilang, tiap orang kena biaya karcis sebesar 40 ribu rupiah. Bagi pengendara roda empat, haram hukumnya kendaraan ikut serta masuk ke dalam. Lanjut perjalanan kudu pakai jasa ojek. Entah berapa tarifnya sebab saya menunggangi kuda besi.

Kira-kira 500 meteran, saya masuki arena parkir. Di situ, kena lagi biaya 10 ribu rupiah. Baru setelah itu bisa masuk ke kawasan Curug.

Setibanya, saya disambut jejeran bangunan bambu tempat pedagang menjajakan suguhan yang masih berjenis kelamin serba instan. Terkesan kumuh. Sementara pepohonan tumbuh liar dan jauh dari asri.

Pengasong pun begitu gencarnya menawarkan saung bambu bertarif 60 ribu perdua jam, sewa ban pelampung, terapi patuk ikan dan lain sebagainya. Acak-acakan karena masing-masing pengais rejeki main sendiri-sendiri.

Meski air terjun bidadari termasuk eksotis, kawasan wisata ini jelas tanpa pengelolaan dan penataan rapi. Soalnya, selain seperti yang sudah disebutkan, sampah sisa dagangan serba instan, dilempar begitu saja di salah satu jurang kecil bekas longsor.

Meski letaknya tak jauh dari Jakarta, objek wisata ini terbilang sepi. Padahal saya datang hari Sabtu. Dengan kondisi seperti itu, saya menduga banyak yang ingin tahu. Namun setelah berkunjung, kapok.

Geopark

Sejak beberapa tahun lalu, pemerintah Jawa Barat bagian Kabupaten Sukabumi, sedang gencar-gencarnya mempromosikan kawasan Ciletuh sebagai kawasan wisata.

Berjarak 10 jam berkendara dari Jakarta, areal seluas 126 ribu hektar ini tak mungkin cukup satu hari bisa dieksplor pelancong. Beberapa air terjun, menjulang begitu indahnya di sana.

Saya lelaki, mungkin tepat kalau saya ibaratkan air terjun itu seperti perempuan bahenol yang berdiri telanjang memamerkan tubuhnya kepada kaum pria. Menantang sekali. Sementara garis pantai, sebaiknya anda lihat saja sendiri.

Memasuki gerbang geopark saat malam, saya dicegat beberapa pria berselimut kain sarung. Mereka menanyakan mau kemana disusul tawaran penginapan.

Saya menjawab pertanyaan sekaligus menolak tawaran itu, lantas lanjut melaju. Di bibir pantai, susunan huruf besar bertuliskan Geopark Ciletuh ditempatkan dan diresmikan Ahmad Heryawan yang kini jadi mantan Gubernur Jawa Barat.

Tarif menginap di pinggir pantai, cukup bikin kaget. Di penginapan milik salah satu anggota DPRD Jawa Barat, untuk satu kamarnya seharga 1,5 juta permalam. Sedangkan di luar situ, seharga 1,5 juta per rumah dengan tiga kamar.

Kuliner yang disuguhkan, masih tak beranjak dari serba instan. Sementara ongkos parkir dan karcis masuk air terjun, dibayar terpisah. Kalau mau pakai pemandu jalan, tarif yang ditawarkan 150 ribu rupiah.

Harta Terpendam Bung Karno

Saya berkenalan dengan Perna, pemuda yang menawarkan penginapan di luar areal milik anggota DPRD tadi. Dia ramah dan banyak bercerita tentang kawasan itu, termasuk misinya menggali harta terpendam Bung Karno secara gaib.

"Wah ini menarik," batin saya.

Lantaran cepat akrab dan negosiasi berlangsung asyik, Perna menyerahkan kunci rumah tiga kamar dengan harga jauh di bawah tawaran. Cuma 500 ribu untuk satu malam.

"Jadi saya diamanatkan leluhur untuk menjaga dan mencari di mana harta terpendam Bung Karno itu berada. Kalau ketemu, saya ga boleh nyentuh (menikmati) sedikit pun. Makanya ga lama lagi saya pasti ninggalin kerjaan saya ini," kata dia menjelaskan.

Geli juga mendengar cerita soal harta itu. Soalnya, saya tak percaya soal begituan. Hingga akhirnya saya sodorkan pandangan.

Menurut saya pribadi, harta tersebut justru terhampar jelas. Dia bernama keindahan dan kekayaan alam Indonesia. Termasuk Ciletuh.

Dasar pengelolaannya, ada di dua kitab bernama Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Tinggal sesuaikan saja desain dengan letak geografis juga karakteristik masyarakatnya.

Gencarnya promosi pemerintah Kabupaten Sukabumi, biar menjadi kotak kemasan produk. Sementara potensi alam, masyarakat termasuk perangkat pemerintah di garda terdepan, tinggal bersiap menjadi isi. Sebab kalau tidak, bisa-bisa cuma melongo doang.

"Jadi Kang Perna ga perlu repot lagi mencarinya lewat jalur gaib," kata saya.

"Tapi Kang, ini semua sudah mulai dikuasai orang kota," kata dia.

Betul, tiap areal potensial pasti sudah dikuasai orang kota. Sebab duit dikumpulkan di sana sementara desa cuma jadi ruang produksi saja. Mungkin, tanpa punya hak memasang harga dan dapat keuntungan berapa.

Rasanya, pemilik modal asal kota juga tak usah lagi berambisi menguasai tiap jengkal tanah di desa. Percayakan saja dana dan dampingi pengelolaannya. Ada konsep Koperasi ala Muhammad Hatta kok. Dengan begitu, harta terpendam Bung Karno bisa dinikmati bersama tanpa perlu ada tumbal.

Gambaran

Saya memang punya obsesi membangun kawasan wisata berbasis agraria. Gambarannya, potensi-potensi tadi dikembangkan menjadi desa wisata bergaya Sunda zaman dulu. Tak ada kudapan instan apalagi modern. Adanya cuma kuliner khas setempat.

Bahan baku diproduksi petani dan peternak setempat guna memenuhi kebutuhan wisata kuliner termasuk pangan warga. Transportasi bermesin tak boleh masuk agar udara tetap steril. Adanya cuma andong atau kuda tunggangan saja.

Penginapan, dibuat menyerupai kediaman tradisional. Sementara hiburan dan permainan termasuk outbond, berasal dari zaman baheula yang dieksplorasi.

Sementara itu, tarif masuk dijadikan satu paket. Tujuannya, agar pelancong tak perlu berkali-kali membayar hingga merasa seperti ditodong.

Tak perlu dijual dengan harga menguras. Secukupnya saja asal pengunjung tak kapok dan berhasrat kembali lagi. Bismillah.


Komentar