Waktu aku jatuh cinta padamu,
sensasinya aneh tapi asik. Kalau harus dijelaskan berapa besar kadarnya di
dalam emosi, pokoknya asik dah. Jangankan melihatmu senyum. Kamu marah pun aku
suka melihatnya. Suwer
Apa betul
begitu rasanya kalau lagi jatuh cinta. Bisa iya, bisa juga engga. Lalu,
seberapa penting pacaran itu dalam hal perjodohan ?
Ada yang
bilang, pacaran itu penting guna mempersiapkan diri menghadapi kelakuan
pasangan jauh hari ke depannya. Tapi, ada juga yang teriak keras kalau soal ini
haram dikerjakan lantaran mepet-mepet zina baik kering atau basah.
Di bagian lain, ada yang
mempertanyakan bedanya Orang Barat dan Orang Melayu dalam hal pacaran.
Di kampus,
pernah ada obrolan soal bagaimana film diproduksi. Salah satu pandangan
mengatakan bahwa film bisa berisi informasi tentang hal-hal yang terjadi di
dalam masyarakat. Namun, bukan tidak mungkin juga isinya upaya merubah perilaku
pemirsanya.
Dalam
film-film drama yang diproduksi Paman Sam, sering ditampilkan kalau sejoli
memberi salam perpisahan atau ucapan selamat datang berupa ciuman di bibir
kekasihnya. Tak jarang, ciuman dalam film justru kelewat panas dan membuat
sedikit deg-degan.
Bisa jadi,
begitu cara orang barat bagian Amerika Serikat pacaran. Jangankan ciuman yang
ga sampe telanjang. Bikin film porno pun dibolehkan di sana asal sesuai syarat.
Lantas, apa
semua Orang Barat begitu ? Coba saja simak film-film buatan mereka dari semua
negara-negara barat. Di sana pasti ada jawabnya.
Kedua orang
tuaku, orang Betawi. Lahir di daerah bernama Kampung Baru, kemudian berubah
jadi Warung Buncit 1 sampai 12, sekarang menjadi Mampang Prapatan, Jakarta
Selatan.
Entah kenapa
sebagai orang Betawi, kami tidak menggunakan sebutan Enya’ Babe. Tapi yang jelas,
Papa dari Buncit 12, Mama dari Buncit 8.
Menurut
salah satu pemerhati budaya Betawi, bahasa komunitas ini berasal dari Melayu
yang dipakai di Batavia sebagai bahasa pengantar di antara pedagang dari
seluruh penjuru dunia. Makanya, nama lain dari bahasa Betawi ya Melayu Pasar.
Jadi bolehlah saya ceritakan tahap asmara antara Papa dan Mama.
Pertemuan sepasang sejoli ini,
terjadi lantaran almarhum Solehuddin bin Imroni (nama bapakku) memang rajin
bertandang ke rumah almarhum Haji Marulloh bin Haji Muhammad yang sekarang jadi
gedung Takaful di Mampang Prapatan. Sekedar nimbrung latihan silat atau ngaji,
sesekali melirik Ulyah Mamaku yang memang sudah lama diincer.
Gayung bersambut, bertepuk dengan dua
tangan pun akhirnya terjadi. Usia terpaut dua tahun. Papa lahir 1953, Mama
tahun 1955.
Setelah beberapa tahun lepas SMA,
Papa mulai bertandang dengan maksud yang dibuka terang benderang. Waktu itu,
doi beliau sudah bekerja sebagai staf di kantor pemerintah.
Mama bilang, waktu itu tak ada hal
yang lebih romantis dari duduk bersebelahan dengan jarak pemisah meja kecil
diletakkan di antara dua bangku. Itu sudah cukup. Pegangan tangan pun tak ada
yang berani lakukan, kecuali pas nyeberang jalan.
Sebelum pamit pulang kepada Haji
Marulloh yang waktu itu masih berstatus sebagai calon mertua, Solehuddin
menyelipkan beberapa lembar uang kertas di bawah taplak meja pemisah. Ulyah mengambilnya, kemudian disimpan dan
dikumpulkan untuk modal nikah.
“Ye begitu pacarannye kalo dulu,”
begitu kira-kira kata Mama.
Dalam sinetron Si Doel Anak
Sekolahan, pernah digambarkan metode ini waktu Mandra ngapelin Munaroh.
Kemudian, pada 10 Agustus 1977 atau 24 Sya’ban 1909 di tahun Hijriah, Haji
Marulloh berpasangan dengan Siti Hawa, resmi jadi mertua Solehuddin plus besan
almarhum Imroni yang akrab disapa Mandor Iyong, berpasangan dengan Hajjah
Syarifah.
Lebih jauh hari lagi, zaman kakek
nenek masih pacaran, boro-boro duduk bersebelahan. Beradu mata dari jarak
sekian meter saja sudah lebih dari cukup. Pokoknya, begitu Babe nanya soal nikah,
jawabannya berupa lamaran ke rumah pujaan hati. Tentunya, prialah yang datang
melamar.
Setelah akad nikah tuntas, Romli dan
Juleha dipisahkan. Di hari ketiga, barulah pengantin wanita boleh dijemput
pria. Setelah itu, terserah mau tinggal di mana.
Kakekku dari pihak Mama tak
mengizinkan anak mantunya tinggal serumah dengan doi beliau. Alasannya,
khawatir tak bisa mandiri.
“Jangan kate beli tipi, sendok
buntung lu ga kuat beli,” begitu kira-kira pernyataan Abe’ (kakek) mengusir
anak mantunya biar mandiri.
Sementara itu, barulah panasnya
asmara benar-benar dikobarkan tanpa takut kena dosa zina sedikitpun. Uwa’
encing, om, tante, juga orang tuaku, lahir sebagai buah dari percintaan.
Hari berlalu, teknologi makin maju
dan distribusi penyampaian pesan termasuk pengaruh berlangsung sangat lancar.
Orang Melayu di sini akhirnya kenal aktifitas ciuman.
Di film-film lawas seperti yang
dibintangi Ayu Azhari, Inneke Koesherawati atau Eva Arnas, sudah ditampilkan
adegan ciuman. Baik sekedar tanda ucapan selamat pada kekasih, yang hot
sekalipun juga disuguhkan.
Mungkin, dari situ atau mungkin juga
sebelum itu, ciuman jadi tren tersendiri di kalangan muda-mudi atau yang tua
sekalipun saat dirundung asmara. Dan, semua orang pun tahu apa itu ciuman.
Belakangan, bukan pula ciuman, sejoli
di sini sudah mulai berani memproduksi film telanjang tanpa kontrak kerja
bahkan mungkin tanpa bayaran selangit seperti bintang film be’ep dari Amerika. Jelas
ada pergeseran. Gak tahu sengaja atau tidak.
Entahlah, peraturan yang bisa
mempidanakan pelaku ciuman bibir di muka umum masih berlaku atau tidak. Kalau
ga salah dengar, beberapa tahun lalu sempat ada aturan macam itu di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar