Habib
Morgan, merupakan peran yang diciptakan sebagai sebutan ganti bagi pelaku
klenik. Nama ini, tak terkait sama sekali dengan predikat agama. Dalam padanan
kata antara Arab dan Legenda Arthurian, dia bermakna Dokter Cinta jika
diartikan secara bebas.
Morgan
bergentayangan di tengah masyarakat kemudian menghampiri individu berpikiran
kalut. Sebagai penganggur yang paham soal ranah spiritual beserta pengetahuan
pendukung lainnya, dia punya motif utama yakni mendulang untung materi. Caranya,
dengan menebar gosip kemudian menawarkan solusi instan nan jitu dengan
embel-embel mahar.
Meski
dihujat habis-habisan, aksi Morgan tetap punya peminat tersendiri. Dia cukup dipercaya
meski kemampuan yang katanya manjur tak bisa dicerna akal.
Habib
Morgan tak punya pekerjaan apapun. Berbekal pengetahuan yang didapat sejak
berstatus sebagai santri, dia salah jalan mendulang materi lewat jual beli
harapan dengan bayaran berbahasa mahar.
Ngawinin
Setan Komplek
Awal
tahun 1990-an, ada seorang berlatar belakang Betawi sering menakuti anaknya
yang ga mau mandi sore dengan perkataan begini .
“Awas
yang ga mau mandi dibawa setan komplek. Ntar malem kakinye dijilatin setan,”
kata Jamroni, nama bapak itu.
Jamroni
tinggal di Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, yang kini jadi salah satu kawasan
perkantoran. Waktu itu, di sana masih banyak perkampungan dengan rumah-rumah
berbahan bambu gedek dan balok kayu.
Satu
malam, mertua Jamroni menggelar hajatan perkawinan anak paling bontot. Sesuai
kesepakatan rapat panitia, diputuskan bahwa hiburan berupa nonton video saja.
Dengan tivi 21 inci, satu unit speaker aktif merk TOA, serta alat pemutar kaset
video, film-film diputar semalam suntuk.
Pokoknya,
hiburan seperti itu sudah termasuk mewah. Kalau dihitung peringkat, dia ada di
kelas tiga setelah orkes Melayu atau Gambus dan layar tancep. Sementara yang
paling bontot, muter lagu-lagu Mashabi doang pakai tape.
Film
horor Amerika, dapat giliran diputar setelah lewat tengah malam pada hajatan
itu. Sejak awal, kipas angin tak henti-hentinya gelengkan kepala sambil terus
meniup mesin pemutar video.
“Biar
engga panas,” kata teknisinya.
Baru
dua film selesai diputar, suasana tegang sebab keangkeran sudah merasuk ke
pikiran pemirsa. Teknisi minta izin istirahat lantaran mesin pemutar sudah
kepanasan.
Jamroni
kebagian tugas nuang teh panas dengan rasa kurang gula juga kurang tua ke
belasan gelas. Maklum saja, segala panganan ringan berkadar gula tinggi. Ada
wajik, geplak, kue pepe, kue bugis dan lain-lain.
Beberapa
orang lainnya, cuma duduk-duduk sambil asik bergunjing soal tempat-tempat
angker yang dia tahu.
Aura
seram masih terasa pasca dua judul film horor tadi. Sambil menggulung rokok
lintingan, Habib Morgan sudah sejak sebelumnya membuka kisah soal siapa
sebenarnya yang dimakamkan di samping pabrik tempe.
“Orang
Belanda, dari Kota. Dulu termasuk benteng Batavia,” kata Morgan.
“Pokoknya
waktu ane masih kecil itu keramat (kuburan orang Belanda) udah ade,” lanjutnya.
“Jadi
dulu, itu Belande ngebelot dari kompeni. Dia belain orang Cina pas
pemberontakan di Batavia. Kabur lewat pintu belakang rumah, terus masuk Glodok,
terus masuk utan sampe sini. Di sini die ketemu orang kampung. Sampe akhirnye
kawin sama orang sini. Die masuk Islam.
Dulu,
baru die yang bisa bikin sistem pengairan supaya sawah-sawah yang sekarang jadi
Kantor Camat kebagian aer. Jasenye gede,” Morgan berhenti sejenak, nyeruput teh
panas kemudian hisap kaung yang sudah
dilinting.
“Cuma
belakangan,” lanjutnya sambil tarik nafas, “ade penyusup masuk kampung terus
nemuin die. Matilah die dibunuh. Nah, itu yang dikerangkengin model rumah itu
kuburannye,” kisah Suaeb sesuai dongeng tutur yang dia dapat.
“Yang
di samping pabrik tempe Tasilem ?” tanya Jamroni.
“Persis,”
sahut Morgan sambil acungkan telunjuk juga jempol membentuk pistol.
Entah
tahun berapa terjadinya pembunuhan pembelot Belanda itu. Morgan bilang, makam
itu benar-benar sudah tua. Bahkan katanya, sejak bapaknya kecil pun makam itu
sudah ada. Di sebelahnya, ditumbuhi pohon nangka besar yang ketika berbuah
siapa saja boleh ambil.
Tak
tahu siapa yang memulai. Gosipnya, si Belanda mati penasaran. Sebab belum
waktunya dia mati, tapi nyawanya dicabut duluan oleh dua orang penyusup. Arwahnya
kini gentayangan.
Mula-mula,
menurut cerita yang beredar, makam si Belanda dibuatkan kerangkeng dengan atap
berukir. Tiap sisinya, ditutupi rapat-rapat dengan kawat nyamuk juga kain
putih. Katanya, agar tak ada yang bisa melangkahi apalagi menginjak.
Dilakukannya
pekerjaan ini, agar arwah si Belanda senang kuburannya bagus dan tak penasaran
lagi. Hampir tiap malam, ada saja orang berdoa di situ supaya almarhum pulang
ke Pemiliknya. Dua bulan sekali, kain putih diganti.
Waktu
jalan terus. Tahun juga datang bergantian. Entah sudah berapa lama makam itu
ada di situ. Orang-orang sudah tak lagi mendoakan. Kain putihnya pun tak pernah
diganti.
“Iye
sih, waktu ane kecil juga emang itu kuburan udah ade. Kain putih juga masih
ade, cuma udah rombeng. Jelek banget. Kayenye emang ga pernah diganti udah
kelamaan,” timpal Manhajir.
“Dulu
ane waktu kecil, babe suka bilang diculik setan komplek kalo ga mau mandi,”
lanjut dia.
Spekulasi
berkembang. Tebak-tebakan tapi seolah yakin, apa betul arwah si Belanda itu
penasaran dan memilih anak kecil sebagai mangsanya ?
Soalnya,
bukan cuma Habib Morgan, Manhajir atau Jamroni yang tahu ungkapan itu. Semua
pernah mendengarnya.
Muhib
yang berusia belum sampai 10 tahun pun tahu soal itu. Dia sering dengar
bapaknya teriak mengucapkan “Awas dibawa setan komplek,” kalau aturan
dilanggar.
Di
malam pesta perkawinan itu, Muhib tertidur pulas berkasur bangku tamu dekat
meja prasmanan. Sedangkan sepasang pengantin yang tadi pagi ucapkan janji
setia, sudah pamit tidur duluan sejak tamu mulai habis kira-kira jam 11 malam.
“Ane
pernah denger cerita juga sih, kalo Belande itu punya anak dibunuh duluan di
depan matenye. Baru kira-kira setengah jam, abis disikse die nyusul dibunuh,”
kata Habib dominan.
“Ente
pernah liat bang ?” kata Manhajir.
“Siape?
Ane? Liat arwahnye?” sahut Morgan.
“Ane
sih ga pernah liat, tapi dulu ade orang Kuningan maen kemare dikasih liat.
Rupenye ye kaya meneer jaman dulu.
Pake jas, pake sepatu, pake jem tangan juga. Mungkin karena dia orang kota,
tinggal di rumah gedong, pake jas, terus mati dibunuh jadi ye begitu rupa
arwahnye. Mukenye pucet. Kalo bule pucet sih wajar, tapi ini pucet mayat yang
udah kaku,” lanjutnya.
“Kaya
yang di pelem barusan dong?” tanya Jamroni.
“Persis,”
sahut Morgan sekali lagi sambil acungkan tangan membentuk pistol.
Tiba-tiba,
listrik padam seketika. Blub. Di
dekat pesawat tipi, sang teknisi manyun mulut lantaran salah colok kabel lantas
konslet.
“Ups,”
katanya.
“Yah
ditandain itu omongan,” kata Manhajir.
“Maksud
lu?” tanya Jamroni.
“Orang
tue bilang, kalo kite lagi ngomongin apa-apaan terus ada kejadian ga wajar, itu
namenye ditandain ame yang diomongin,” jelas Manhajir.
Patut
diakui, soal bikin film Amerika jagonya. Pemirsa, dijamin mau dibohongi
habis-habisan. Soal tentara misalnya. Menurut film Rambo, prajurit Paman Sam
itu hebat-hebat. Satu orang saja, sudah cukup menggerus sekompi pasukan
Vietkong. Begitu pun Habib Morgan. Kalau dia sudah cerita, semua terkesima
meski tahu sedang dibohongi.
Cerita
soal setan komplek menjadi penutup hajatan malam itu. Sedangkan konsletnya
listrik, menjadi bumbu yang memicu terganggunya akal sehat.
“Terus,
bininye itu Belande kemane ye ?” tanya Jamroni.
Morgan
tak memberi jawaban lisan. Dia cuma angkat kedua bahu, menurunkan dua sudut
bibir, tengadahkan tangan sambil memiringkan kepala ke sebelah kiri. Dia tak
tahu. Bahkan ga ada satu pun yang bisa menjelaskan.
“Bise
jadi lantaran kite brenti ngedoain dan ganti kaen putihnye die gentayangan
lagi,” kata dia.
Jarum
jam di tembok depan rumah, sudah menunjuk angka 03.15. Satu persatu, peserta
gunjing soal setan komplek pamit pulang. Manhajir ke arah utara, Morgan ke arah
timur, sedang Jamroni dan teknisi masih setia di tempatnya lantaran kudu
membenahi perabotan.
Sementara
itu, Muhib masih tertidur pulas dengan bangku tamu hajatan sebagai kasurnya.
Sesekali, dia mengigau soal layangannya yang nyangkut di kabel listrik. Tangan
kanannya, terus melakukan gerakan seperti menarik benang. Sebenarnya dia pegang
ujung taplak meja. Ditarik-tarik, hingga isinya pun tublek ke bawah.
“Prangngng,”
piring gelas juga sendok makan berjatuhan ke lantai. Sedang Muhib, terus
lanjutkan mimpinya.
Menuju
rumah, Morgan harus melintasi jalan setapak belakang Masjid. Di situ, ada areal
pemakaman tua dengan beberapa pohon tinggi besar.
Dari
gosip yang beredar, pohon kapuk di depan rumah Ketua RT seberang areal makam,
terkenal angker dengan penghuni setan gepeng. Katanya, dia perempuan dengan
muka rata. Tanpa hidung, mata juga mulut. Kalau tertawa, melengking bak rocker
papan atas.
Kaki
terus dilangkahkan, meski hati kecilnya terus bilang sebaiknya kembali saja ke
rumah mertua Jamroni.
Biarpun
bertampang sangar dan kalau ngomong selalu terdengar penuh keyakinan, ada rasa
takut yang diproduksi pikiran kemudian mempengaruhi perasaannya sendiri. Tak
hentinya dia terbayang rupa setan komplek yang digambarkan sendiri kemudian
dituturkan kepada teman-temannya di lokasi hajatan.
Awalnya
dia berusaha mempengaruhi orang lain. Tapi kini, malah dirinya yang terpengaruh
dengan perkataan sendiri. Semakin menolak, alam bawah sadarnya justru terus
memicu munculnya bayangan setan. Pertama setan komplek, kedua setan gepeng.
Terus bergantian hingga campur aduk di dalam pikirannya sendiri.
Khayalannya
itu, justru mensinkronkan pikiran dan perasaannya hingga memicu rasa takut yang
terus membesar. Konsentrasi pada kenyataan makin menipis setiap detiknya,
sampai tibalah dia pada ke-alpa-an.
Logika
Morgan, mendorong agar dia berani dengan mengatakan dalam hati bahwa tak ada
makhluk begituan. Sementara kealpaan, justru berkadar lebih besar hingga terus
mensugesti dirinya. Dalam kondisi pikiran dengan kadar ketakutan lebih banyak
ketimbang berani, bayangan setan gepeng terus dikonstruksi. Makin dia menolak
takut, bayangan makin jelas tergambar.
Tibalah
dia persis di depan rumah Ketua RT yang berhadapan dengan pohon kapuk. Dan, di
sinilah puncak sugestinya. Sesosok tubuh berpakaian gombrong putih berlumur
tanah turun ke bawah. Pelan-pelan dan makin terlihat jelas, menuruni pohon
tanpa berpegangan.
Pikiran
sudah tersugesti, akhirnya menipu Morgan sendiri. Dia lari tunggang langgang
sambil teriak : “Setaaaaaaaaannnnn,” sekencang-kencangnya.
Komentar
Posting Komentar