Katanya,
rumah enya’ (nenek) yang kini jarang ditinggali angker. Di salah satu kamar
yang sekarang jadi gudang, ada penghuninya. Makhluk halus perempuan masuk ke
jenis kuntilanak.
Entah
siapa nama panggilanya, tapi katanya dia sering kasih lihat wujudnya ke orang
yang dia mau.
Lagi-lagi
masih katanya, almarhumah Cing Min yang selama puluhan tahun menemani laju
biduk rumah tangga enya’ dan abe’ (kakek) sering dikasih lihat. Kisah ini,
bukan sekali dua kali saja dituturkan hingga akhirnya, cucu-cucu ga ada yang
mau nginep di sana. Serem.
Ini
mirip-mirip dengan soal kasus setan komplek tadi. Saya buktikan kebenaran
katanya itu dengan menginap di sana. Kedok yang dipakai, nemenin enya’.
Saban
malam pas waktunya tidur, enya’ selalu mematikan lampu yang tak diperlukan.
Ruang tamu, dapur, kamar-kamar kosong juga kamar mandi, semua kena putus aliran
listrik. Gelap tak gulita. Saya harus membiasakan diri.
Sejak
malam pertama hingga ke tiga, saya pilih rebahkan badan di depan tv dekat meja
makan yang berbatas tembok dapur juga kamar kosong. Sebelumnya, memang tak
setiap hari apa lagi detik saya ada di rumah itu. Jadi perasaan asing jelas
ada.
Malam
pertama tak terjadi apa-apa sebab beberapa puluh menit setelah nyalakan tv
kemudian rebahan, saya langsung tertidur. Malam kedua juga tak ada apa-apa.
Malam
ketiga, saya tiba di rumah enya’ sekitar pukul 20.00-an. Tepat pukul 21.00
enya’ sudah mematikan hampir semua lampu kecuali kamar tidurnya. Seperti biasa,
kasur digelar di tempat kemarin sementara tv sudah 15 menitan dibiarkan menyala
dengan volume suara kecil sekali.
Hati
kecil terus bilang soal kuntilanak itu cuma omong kosong. Sementara pikiran dan
sebagian besar perasaan, coba berdamai dengan berupaya mempercayainya. Saya
terus memanggilnya.
“Kuntilanak,
saya mau ketemu. Boleh ya til, kuntil. Kuntialank saya mau ketemu,” terus
diucapkan sampai akhirnya saya mulai ngantuk.
Kalau
dia ada, pasti dia datang menemui dengan wujudnya. Terus menerus saya panggil
si kuntilanak. Sayang tak juga datang.
Meski
ngantuk makin berat, dia terus dipanggil. Saya bayangkan wujud kuntilanak
seperti yang sering dipertontokan film atau sinetron. Terus saya lakukan itu
sambil tanpa sadar mensugesti diri bahwa dia akan datang dengan wujud itu.
Kesadaran
makin menipis sedang kantuk sudah mendominasi diri. Saya sudah mulai
mendengkur. Saya tahu itu dan berusaha kembali pada keadaan terjaga, tapi tak
bisa sebab tidur itu terlalu enak.
Di
tengah upaya terjaga itulah, kuntilanak nongol dengan wujud persis seperti yang
saya bayangkan tanpa henti sebelumnya. Dalam hitungan detik, usaha
mengembalikan kesadaran pun tiba-tiba terdongkrak tajam. Kaget.
Saya
mau memandang dia dengan sebenar-benarnya. Seperti saya memandang kamu yang
benar-benar terlihat di depan mata. Okelah ga bisa diraba. Tak apa-apa. Tapi
saya mau melihat dengan tegas.
Tapi
kuntilanak hilang begitu saja. Dalam hitungan persekian detik pula, entah dia
sudah ada di mana. Saya cari ke dapur, kamar kosong juga kamar mandi, tak ada
dia di sana.
Saya
yakin, apa yang terlihat adalah hasil dari yang dikonstruksikan pikiran
sendiri, lalu tersugesti kemudian nampak dalam pandangan.
Sebenarnya
waktu itu saya masih sedikit ragu. Sedikit sekali. Mulai percaya ada begituan,
tapi masih banyakan ga percayanya. Lantas hasil cek and ricek itu disampaikan ke orang yang katanya paham betul
soal beginian. Namanya Habib Morgan.
Dengan
detil saya ceritakan tiap bagiannya tanpa luput sedikit pun.
Dia
ngangguk-ngangguk seperti paham menyimak cerita itu. Saya dibiarkan terus nyerocos
menuturkan hasil uji itu kepadanya hingga benar-benar selesai. Saya senang
dengan sikapnya itu.
“Oke,”
katanya sambil menghela nafas kemudian membetulkan posisi duduknya.
“Jadi
yang antum lakuin itu takabur. Ente udah berani manggil makhluk Allah yang
menghuni rumah itu buat ketemu. Ente dikasih liat, tapi cuma sekilas. Soalnya
itu kuntilanak takut karena ente kelewat berani. Jadi die ngilangin penasaran
ente aje,” katanya membuka penjelasan.
“Setan
itu demen godain orang yang jiwanya lemah. Dia masuk ke badan orang biasanye
karena ga pernah sholat, ga pernah dzikir, ga pernah ibadah. Jauhlah dari
agama. Ini yang bikin jiwa lemah. Ape lagi yang doyan maksiat. Judi, zina,
mabok.
Nah
khusus buat ente ini, die justru takut karena ente punya pendirian yang kuat.
Ente ga takut begituan. Ente yakin kekuasaan Allah itu Yang Maha Besar?”
jelasnya sambil bertanya.
Meski
boleh dibilang lumayan jauh dari agama dan baru mendekat saat ada perlunya
doang, pastilah mengangguk sebagai jawaban pertanyaan itu.
“Jadi
Allah lindungin ente. Engga diizinin itu setan keliatan lama-lama apelagi masuk
ke badan ente,” tutupnya kemudian menggosokkan kayu siwak ke gigi.
“Orang
yang terlanjur kemasukan jin atau setan itu kudu diruqyah. Diusir setan yang masuk itu. Supaya Jin ga ngeganggu lagi,”
katanya kemudian.
“Ane
perlu ga diruqyah ?” tanya saya.
“Sepenglihatan
ane, ente ga perlu. Ente udah kuat dan ga mempan begituan. Cuma kalo mau coba,
boleh aja. Nanti baru ketahuan ade ape di badan ente,” katanya menawarkan.
Suwer,
dalem hati saya nyengir sendiri dibilang udah kuat dan setan ga bisa masuk
ganggu diri saya. Lha wong sembahyang cuma Jumat doang, puasa juga dilanggar
terus kok. Jadi setannya ya saya sendiri.
Setan
itu memang sejak awal manusia diciptakan sudah ada. Kemudian Tuhan bikin
skenario guna menguji ketaatan ciptaan paling baru itu. Mau nurut Tuhan atau
setan.
Akhirnya
kami bersepakat menggelar ruqyah.
Saya diminta mandi hadast, berwudhu kemudian melakukan sholat hajat, meminta
agar diri dibersihkan. Saya lakukan dan hayati itu semua kemudian merenung sebab
teringat beberapa kesalahan besar dan kecil yang pernah dilakukan.
Ada
rasa menyesal dan takut mengingat kesalahan-kesalahan itu. Dalam diam, saya
bilang ke Tuhan :
“Ya Allah, engkau Maha
Tahu apa yang pernah aku kerjakan. Engkau juga Maha Tahu benar atau salah itu
semua. Aku mengakuinya.
Cuma Engkau yang bisa
tahu persis apa yang ada di pikiran dan perasaanku ini ya Allah. Aku pasrahkan
semua kepadaMu. Jika harus aku pikul penderitaan akibat kesalahan-kesalahan
itu, mudah-mudahan aku sanggup ya Allah. Kalau Engkau menunda hukuman itu
hingga di alam berikutnya nanti juga, mudah-mudahan aku sanggup menghadapinya.
Pantas atau tidaknya
aku mendapat ampunanMu, aku serahkan semuanya kepadaMu Ya Allah.
Engkau Maha Segalanya
Ya Allah. Segala yang ada di alam raya ini sudah pasti kepunyaanMu. Baik yang
bisa kulihat atau pun tak bisa kulihat, itu semua milikMu ya Allah. Engkau yang
harus aku sembah dan aku minta pertolongan kepadaMu soal apapun ya Allah.
Meski saat ini aku bingung
harus meminta apa kepadaMu, aku yakin Engkau tahu benar yang aku butuhkan saat
ini. Aku mohon petunjukmu ya Allah,” demikian kira-kira isi doaku kepada
Tuhanku yang Maha Segalanya lalu ditutup dengan surah al-Fatihah.
Saya sudah merasa siap untuk diruqyah dan
diminta berkonsentrasi penuh. Habib Morgan melafalkan ayat-ayat suci al-Qur’an.
Merdu sekali suaranya dengan langgam Arab yang fasih.
Meski
tak tahu apa arti apalagi makna dari yang dibacakan, saya merasa nyaman
kemudian seolah memasuki fase ngantuk yang terlalu berat. Dalam sikap duduk
bersila, tertidur dengan kadar kesadaran diri yang terus berkurang hingga
tersisa sangat sedikit sekali.
Dalam
tidur dan sedikit sadar itu, kesalahan-kesalahan tadi muncul lagi. Dia tak
berupa daftar tulisan, berwujud makhluk, suara atau gambar hidup. Entahlah. Dia
di tempat gelap dan sangat dalam bercampur rasa bersalah, menyesal juga takut.
Perasaan
itu makin mendalam sebab lantunan ayat suci al-Qur’an yang dibacakan terus
mendorong diri masuk lebih dalam. Dan kemudian, jauh lebih menyesal, bersalah
dan takut lagi.
Yakin
betul, saya sedang dituntun menuju keinsyafan sepenuhnya. Ada sensasi luar
biasa. Rasanya grogi, menyesal, ketakutan, tak bisa berbuat apa-apa bahkan tak
mampu memikirkan yang lain. Saat itu, tak sepatah kata pembenaran bisa
diucapkan. Aku menyerah tanpa syarat.
Berangsur-angsur,
tubuh tak bisa lagi dirasakan. Seperti terlepas semuanya dan sangat-sangat
ringan. Makin masuk ke dalam diri, rasanya terus makin lepas dan makin ringan.
Tak ada yang lain kecuali gelap dan dalam. Aku tak bisa melihat wujudku sendiri
tapi benar-benar terasa kalau aku ada.
Aku
sendirian. Lantunan ayat suci masih terdengar tapi lamat-lamat mengecil
kemudian tak terdengar sama sekali. Namun, entah bagaimana menggambarkannya,
aku didorong lembut terus masuk ke (katakan saja) dimensi paling dalam.
Tak
tahu sudah berapa lama saya masuk ke dalam hingga aku benar-benar sendirian.
Sepi dan takut. Aku coba gambarkan dengan bahasa yang aku punya. Di kegelapan
yang dalam itu, dominan warna hitam, tidak juga. Rasanya, semua warna dan corak
bercampur jadi satu hingga yang aku lihat cuma gelap, dalam dan bergelombang.
Saya
merasakan sensasi mirip-mirip mimpi mati yang sering dialami waktu kecil. Saat
mimpi itu datang, orang tuaku bilang aku seperti kesurupan. Teriak-teriak
ketakutan dan tak bisa pegang kendali atas diriku.
Samar-samar,
dari dalam sana terdengar suara yang tak jelas apa isi kalimatnya.
Berkali-kali. Ini persis seperti waktu aku “kesurupan” dulu.
Entah
yang ke berapa kalinya suara itu terus berucap, aku mulai
memperhatikannya.
“Siapa
antum?” begitu katanya.
Aku
menyerah.
“Bobby,
Mahbub Junaidi,” jawabku.
“Dari
mana antum?” tanya suara itu lagi.
“Dari
Tuhan Yang Maha Esa dan dititipkan di bumi,” katanya, begitu jawabanku.
“Apa
yang antum mau?” tanya suara itu. Volumenya, seperti dari besar dan jelas
terdengar tiba-tiba mengecil dan menghilang. Aku tak dengar apa-apa lagi
setelah itu. Hanya sepi, gelap dan dalam. Itu saja.
Katanya,
setelah pertanyaan itu aku meracau. Berkata-kata tak jelas dengan bahasa apa
dan mengatakan apa. Seperti orang kumur-kumur.
Pada
sikap duduk bersila aku terus meracau. Katanya lagi, aku sudah lupa diri dan
benar-benar meracau sambil menangis.
Aku
tak lupa diri. Di dalam sana aku malah menemukan diri sendiri. Tanpa wujud
namun sangat terasa keberadaannya. Malah saat itu aku lupa kalau aku masih
punya jasad.
Mungkin,
katakan saja diriku tak sinkron dengan jasadku. Akibatnya aku meracau. Padahal
rasanya, di dalam sana aku sedang menyesal, bersalah, ketakutan dan sendirian.
Tiba-tiba
aku gelagapan. Seperti orang tenggelam yang akhirnya bisa muncul ke permukaan
kemudian menarik nafas dalam-dalam dan terburu-buru.
Entah
dalam hitungan persekian berapa detik. Seperti layar televisi yang baru
dinyalakan, pandangan tiba-tiba terang. Mula-mula samar, kemudian jelas
sedikit-sedikit hingga akhirnya semua materi yang ada benar-benar jelas
terlihat.
Badan
penuh peluh, nafas ngos-ngosan dan persendian terasa ngilu ketika kesadaran
kembali sepenuhnya. Aku kelelahan seperti habis melakukan pekerjaan berat di
dalam air kemudian menyelam lama sekali.
Ya
aku kelelahan lantas merebahkan badan sekenanya. Sesekali, mata terpejam dan
terbuka. Aku lelah dan rasanya mau tidur saja. Tapi aku ga ngantuk.
Nafas
mulai teratur, ngilu di persendian berangsur hilang. Sekujur badan mulai terasa
ringan dan perasaan tenang sekali. Benar-benar tenang dan ringan.
Morgan
memijit-mijit pundak kemudian menyodorkan segelas kecil air mineral hangat.
Pasca meneguk, keringat keluar lagi dan deras sekali hingga basah seperti habis
mandi.
Aku
minta air lebih banyak lagi lantas menenggak lahap. Betul aku kehausan dan
Morgan memberikan sebotol besar air mineral kemasan yang aku minum sedikit demi
sedikit.
“Ente
pernah belajar di mane?” begitu katanya membuka obrolan setelah aku dinyatakan
benar-benar sudah pulih.
“Maksudnya
Bib?” tanya saya.
“Ente
pernah berguru ilmu di mane? Barusan ente kesurupan. Ngomong ga jelas kaya
kumur-kumur, muka ente pucet dan nangis-nangis. Yang begini biasanye pernah
berguru dan megang amalan,” katanya mempertegas pertanyaannya. Saya menangkap
mau dibawa kemana arah pertanyaan itu.
“Ga
pernah, ane ga pernah berguru ke mane-mane Bib. Kalo sekolah iye. Saya pernah
kuliah. Selain itu ga ada yang lain,” kata saya.
“Di
badan ente ada yang nemplok, tapi tadi ane udah keluarin semua jin dan setan
yang udah nempel,” begitu katanya.
“What.
Jin, setan, nemplok di badan gue?” kata saya dalam hati.
“Ente
kesurupan barusan. Ruqyah sukses.
Semua yang nemplok udah pada pergi. Ente udah bersih sekarang. Ane yakin banget
itu Jin udah lama di dalem badan ente,” kata dia penuh keyakinan.
“Maksudnya
jin ada di dalem badan ane udah lama itu ape?” tanyaku.
“Jadi
begini. Jin dan setan itu emang suka gangguin manusia. Dia masuk ke badan orang
lewat urat nadi terus bercampur dengan darah. Akhirnya pengaruhin orang yang
dimasukinnye itu.
Yang
dimasukin emang berasa biase aje. Ga ada yang aneh. Cuma bawaannye ye gitu dah,
mau ngerjain yang jelek-jelek mulu. Perasaannye sering ga tenang. Nah tadi ente
diruqyah udah keluar semua setan dan jin yang di dalem. Sekarang berasa enteng
kan?” jelasnya kemudian bertanya.
“iye,”
jawab saya.
“Alhamdulillah,”
kata dia.
“Pesen
ane, ibadah lebih rajin lagi deh. Biar jin ga masuk lagi. Idup jadi lebih
tenang, lebih deket sama Allah,” tutupnya.
“Astaga.
Ya Allah, aku kebingungan dengan penjelasan Habib Morgan. Bagaimana bisa Jin
masuk ke dalam badan melalui urat nadiku. Sedangkan Engkau mengatakan bahwa,
Engkau lebih dekat ketimbang urat nadiku sendiri.
Kalau
Jin dan setan itu benar masuk lewat urat nadiku, bukankah dia pasti berpapasan
denganMu di jalan Ya Allah ? Kenapa tak Kau cegat saja dia agar jangan masuk Ya
Allah? Atau jangan-jangan, ketika jin dan setan masuk, Engkau sedang tidak ada
di tempat?
Habib
Morgan bilang, jin dan setan itu sudah lama bersemayam di dalam badanku karena
aku pernah berguru dan pegang amalan. Ampuni kalau aku katakan orang ini sok
tahu Ya Allah.
Engkau
Maha Tahu Ya Allah. Aku tak pernah berguru apapun selain kuliah. Itu pun
nilainya jelek-jelek. Kalau pun kebetulan aku sholat dan membaca doa-doa wirid,
Engkau Maha Tahu kepada siapa itu aku tujukan.
Apa
mungkin karena aku lupakan Engkau cukup lama dan asyik berdosa ria, lantas jin
dan setan menggantikan posisiMu Ya Allah? Aku kebingungan Ya Allah.
Tunjukkanlah jalan yang lurus kepadaku,” kataku dalam hati sambil memprotes
entah kepada siapa.
“Bib
mohon maaf sebelumnye. Kalau antum bilang jin dan setan udah lama di dalem
badan ane karena ane berguru dan pegang amalan, ane bingung nih.
Seinget
ane dengan sesadar-sadarnye, ane ga pernah berguru soal yang macem-macem
kecuali soal kuliah doang. Bener ane pernah belajar soal spiritual. Ane
berangkatnye dari pertanyaan siape ane sebenernye, maunye ape dan ape kesalahan
yang udah ane kerjain. Itu sering ane tanyain ke diri sendiri. Kalo kebetulan
ane sembahyang,” kataku.
“Sholat,”
kata dia menyela sambil mengoreksi.
“Iye
itu. Ane juga wirid kalo abis sholat. Ape aje ane bace yang ane tahu. Ye
istighfar, nyebut asmaul husna, terakhir ane baca al-Fatihah. Ga pernah lebih
dari itu,” jelasku.
“Bener,
ane pegang amalan. Satu ayat, ga lebih. Bunyinye Iqro. Ane ngamalin itu doang
di keseharian ane. Bener ane engga bersih. Segala yang berbau maksiat masih ane
kerjain, kecuali judi,” tutupku.
“Jadi
begini,” kata dia memulai.
“Jin,
setan bisa masuk kapan aje saat kite lengah. Jangan dikira di dunia ini cuma
ada orang doang. Ada makhluk lain yang kite ga liat. Beberapa di antaranye ye
itu, jin dan setan.
Ente
pernah lengah makanye jin masuk. Barusan ente bilang sendiri kalo ente masih
suka maksiat. Pas ente lagi kerjain itu, die masuk dan betah di dalem badan
ente. Makin ente sering ngerjain maksiat, makin betah die. Badan ente enak
ditempatin.
Nah
tadi itu, jin, setan, berantem ama doa-doa yang ane bacein pas ente diruqyah.
Makanye ente ngomong ngaco dan nangis-nagis. Untung aje yang di dalem badan
ente itu bisa dikeluarin,” jelasnya terdengar diplomatis.
Sungguh, aku tak tangkap sedikit pun yang bisa
disimpulkan dari penjelasan itu. Awalnya, dia bilang saya kuat dan berani
makanya kuntilanak dari bangsa jin itu takut, karena aku yakin dengan kekuasaan
Tuhan. Tapi belakangan, dia bilang kalau di badanku ada jin yang sudah lama
bersemayam.
Dia
bilang kalau jin dan setan itu masuk lewat urat nadiku, dan tadi bertarung
dengan doa-doa yang dibacakan. Sementara Tuhan bilang, kalau Dia lebih dekat
ketimbang urat nadiku sendiri.
Kalau
setan dan jin yang mempengaruhi pikiran dan tindakanku itu sudah dikeluarkan
dari badanku, apa aku bakal kehilangan nafsu dan tak tergoda sedikit oleh yang
asik-asik tapi dosa ?
“Ya
Allah, tunjukkanlah jalan yang lurus,” kataku meminta dalam hati.
Komentar
Posting Komentar