Simpul Klenik Habib Morgan (bagian 3) - Rumah Enya'


Katanya, rumah enya’ (nenek) yang kini jarang ditinggali angker. Di salah satu kamar yang sekarang jadi gudang, ada penghuninya. Makhluk halus perempuan masuk ke jenis kuntilanak.
Entah siapa nama panggilanya, tapi katanya dia sering kasih lihat wujudnya ke orang yang dia mau.
Lagi-lagi masih katanya, almarhumah Cing Min yang selama puluhan tahun menemani laju biduk rumah tangga enya’ dan abe’ (kakek) sering dikasih lihat. Kisah ini, bukan sekali dua kali saja dituturkan hingga akhirnya, cucu-cucu ga ada yang mau nginep di sana. Serem.
Ini mirip-mirip dengan soal kasus setan komplek tadi. Saya buktikan kebenaran katanya itu dengan menginap di sana. Kedok yang dipakai, nemenin enya’.
Saban malam pas waktunya tidur, enya’ selalu mematikan lampu yang tak diperlukan. Ruang tamu, dapur, kamar-kamar kosong juga kamar mandi, semua kena putus aliran listrik. Gelap tak gulita. Saya harus membiasakan diri.
Sejak malam pertama hingga ke tiga, saya pilih rebahkan badan di depan tv dekat meja makan yang berbatas tembok dapur juga kamar kosong. Sebelumnya, memang tak setiap hari apa lagi detik saya ada di rumah itu. Jadi perasaan asing jelas ada.
Malam pertama tak terjadi apa-apa sebab beberapa puluh menit setelah nyalakan tv kemudian rebahan, saya langsung tertidur. Malam kedua juga tak ada apa-apa.
Malam ketiga, saya tiba di rumah enya’ sekitar pukul 20.00-an. Tepat pukul 21.00 enya’ sudah mematikan hampir semua lampu kecuali kamar tidurnya. Seperti biasa, kasur digelar di tempat kemarin sementara tv sudah 15 menitan dibiarkan menyala dengan volume suara kecil sekali.
Hati kecil terus bilang soal kuntilanak itu cuma omong kosong. Sementara pikiran dan sebagian besar perasaan, coba berdamai dengan berupaya mempercayainya. Saya terus memanggilnya.
“Kuntilanak, saya mau ketemu. Boleh ya til, kuntil. Kuntialank saya mau ketemu,” terus diucapkan sampai akhirnya saya mulai ngantuk.
Kalau dia ada, pasti dia datang menemui dengan wujudnya. Terus menerus saya panggil si kuntilanak. Sayang tak juga datang.
Meski ngantuk makin berat, dia terus dipanggil. Saya bayangkan wujud kuntilanak seperti yang sering dipertontokan film atau sinetron. Terus saya lakukan itu sambil tanpa sadar mensugesti diri bahwa dia akan datang dengan wujud itu.
Kesadaran makin menipis sedang kantuk sudah mendominasi diri. Saya sudah mulai mendengkur. Saya tahu itu dan berusaha kembali pada keadaan terjaga, tapi tak bisa sebab tidur itu terlalu enak.
Di tengah upaya terjaga itulah, kuntilanak nongol dengan wujud persis seperti yang saya bayangkan tanpa henti sebelumnya. Dalam hitungan detik, usaha mengembalikan kesadaran pun tiba-tiba terdongkrak tajam. Kaget.
Saya mau memandang dia dengan sebenar-benarnya. Seperti saya memandang kamu yang benar-benar terlihat di depan mata. Okelah ga bisa diraba. Tak apa-apa. Tapi saya mau melihat dengan tegas.
Tapi kuntilanak hilang begitu saja. Dalam hitungan persekian detik pula, entah dia sudah ada di mana. Saya cari ke dapur, kamar kosong juga kamar mandi, tak ada dia di sana.
Saya yakin, apa yang terlihat adalah hasil dari yang dikonstruksikan pikiran sendiri, lalu tersugesti kemudian nampak dalam pandangan.
Sebenarnya waktu itu saya masih sedikit ragu. Sedikit sekali. Mulai percaya ada begituan, tapi masih banyakan ga percayanya. Lantas hasil cek and ricek itu disampaikan ke orang yang katanya paham betul soal beginian. Namanya Habib Morgan.
Dengan detil saya ceritakan tiap bagiannya tanpa luput sedikit pun.
Dia ngangguk-ngangguk seperti paham menyimak cerita itu. Saya dibiarkan terus nyerocos menuturkan hasil uji itu kepadanya hingga benar-benar selesai. Saya senang dengan sikapnya itu.
“Oke,” katanya sambil menghela nafas kemudian membetulkan posisi duduknya.
“Jadi yang antum lakuin itu takabur. Ente udah berani manggil makhluk Allah yang menghuni rumah itu buat ketemu. Ente dikasih liat, tapi cuma sekilas. Soalnya itu kuntilanak takut karena ente kelewat berani. Jadi die ngilangin penasaran ente aje,” katanya membuka penjelasan.
“Setan itu demen godain orang yang jiwanya lemah. Dia masuk ke badan orang biasanye karena ga pernah sholat, ga pernah dzikir, ga pernah ibadah. Jauhlah dari agama. Ini yang bikin jiwa lemah. Ape lagi yang doyan maksiat. Judi, zina, mabok.
Nah khusus buat ente ini, die justru takut karena ente punya pendirian yang kuat. Ente ga takut begituan. Ente yakin kekuasaan Allah itu Yang Maha Besar?” jelasnya sambil bertanya.
Meski boleh dibilang lumayan jauh dari agama dan baru mendekat saat ada perlunya doang, pastilah mengangguk sebagai jawaban pertanyaan itu.
“Jadi Allah lindungin ente. Engga diizinin itu setan keliatan lama-lama apelagi masuk ke badan ente,” tutupnya kemudian menggosokkan kayu siwak ke gigi.
“Orang yang terlanjur kemasukan jin atau setan itu kudu diruqyah. Diusir setan yang masuk itu. Supaya Jin ga ngeganggu lagi,” katanya kemudian.
“Ane perlu ga diruqyah ?” tanya saya.
“Sepenglihatan ane, ente ga perlu. Ente udah kuat dan ga mempan begituan. Cuma kalo mau coba, boleh aja. Nanti baru ketahuan ade ape di badan ente,” katanya menawarkan.
Suwer, dalem hati saya nyengir sendiri dibilang udah kuat dan setan ga bisa masuk ganggu diri saya. Lha wong sembahyang cuma Jumat doang, puasa juga dilanggar terus kok. Jadi setannya ya saya sendiri.
Setan itu memang sejak awal manusia diciptakan sudah ada. Kemudian Tuhan bikin skenario guna menguji ketaatan ciptaan paling baru itu. Mau nurut Tuhan atau setan.
Akhirnya kami bersepakat menggelar ruqyah. Saya diminta mandi hadast, berwudhu kemudian melakukan sholat hajat, meminta agar diri dibersihkan. Saya lakukan dan hayati itu semua kemudian merenung sebab teringat beberapa kesalahan besar dan kecil yang pernah dilakukan.
Ada rasa menyesal dan takut mengingat kesalahan-kesalahan itu. Dalam diam, saya bilang ke Tuhan :
“Ya Allah, engkau Maha Tahu apa yang pernah aku kerjakan. Engkau juga Maha Tahu benar atau salah itu semua. Aku mengakuinya.
Cuma Engkau yang bisa tahu persis apa yang ada di pikiran dan perasaanku ini ya Allah. Aku pasrahkan semua kepadaMu. Jika harus aku pikul penderitaan akibat kesalahan-kesalahan itu, mudah-mudahan aku sanggup ya Allah. Kalau Engkau menunda hukuman itu hingga di alam berikutnya nanti juga, mudah-mudahan aku sanggup menghadapinya.
Pantas atau tidaknya aku mendapat ampunanMu, aku serahkan semuanya kepadaMu Ya Allah.
Engkau Maha Segalanya Ya Allah. Segala yang ada di alam raya ini sudah pasti kepunyaanMu. Baik yang bisa kulihat atau pun tak bisa kulihat, itu semua milikMu ya Allah. Engkau yang harus aku sembah dan aku minta pertolongan kepadaMu soal apapun ya Allah.
Meski saat ini aku bingung harus meminta apa kepadaMu, aku yakin Engkau tahu benar yang aku butuhkan saat ini. Aku mohon petunjukmu ya Allah,” demikian kira-kira isi doaku kepada Tuhanku yang Maha Segalanya lalu ditutup dengan surah al-Fatihah.
 Saya sudah merasa siap untuk diruqyah dan diminta berkonsentrasi penuh. Habib Morgan melafalkan ayat-ayat suci al-Qur’an. Merdu sekali suaranya dengan langgam Arab yang fasih.  
Meski tak tahu apa arti apalagi makna dari yang dibacakan, saya merasa nyaman kemudian seolah memasuki fase ngantuk yang terlalu berat. Dalam sikap duduk bersila, tertidur dengan kadar kesadaran diri yang terus berkurang hingga tersisa sangat sedikit sekali.
Dalam tidur dan sedikit sadar itu, kesalahan-kesalahan tadi muncul lagi. Dia tak berupa daftar tulisan, berwujud makhluk, suara atau gambar hidup. Entahlah. Dia di tempat gelap dan sangat dalam bercampur rasa bersalah, menyesal juga takut.
Perasaan itu makin mendalam sebab lantunan ayat suci al-Qur’an yang dibacakan terus mendorong diri masuk lebih dalam. Dan kemudian, jauh lebih menyesal, bersalah dan takut lagi.
Yakin betul, saya sedang dituntun menuju keinsyafan sepenuhnya. Ada sensasi luar biasa. Rasanya grogi, menyesal, ketakutan, tak bisa berbuat apa-apa bahkan tak mampu memikirkan yang lain. Saat itu, tak sepatah kata pembenaran bisa diucapkan. Aku menyerah tanpa syarat.
Berangsur-angsur, tubuh tak bisa lagi dirasakan. Seperti terlepas semuanya dan sangat-sangat ringan. Makin masuk ke dalam diri, rasanya terus makin lepas dan makin ringan. Tak ada yang lain kecuali gelap dan dalam. Aku tak bisa melihat wujudku sendiri tapi benar-benar terasa kalau aku ada.
Aku sendirian. Lantunan ayat suci masih terdengar tapi lamat-lamat mengecil kemudian tak terdengar sama sekali. Namun, entah bagaimana menggambarkannya, aku didorong lembut terus masuk ke (katakan saja) dimensi paling dalam.
Tak tahu sudah berapa lama saya masuk ke dalam hingga aku benar-benar sendirian. Sepi dan takut. Aku coba gambarkan dengan bahasa yang aku punya. Di kegelapan yang dalam itu, dominan warna hitam, tidak juga. Rasanya, semua warna dan corak bercampur jadi satu hingga yang aku lihat cuma gelap, dalam dan bergelombang.
Saya merasakan sensasi mirip-mirip mimpi mati yang sering dialami waktu kecil. Saat mimpi itu datang, orang tuaku bilang aku seperti kesurupan. Teriak-teriak ketakutan dan tak bisa pegang kendali atas diriku.
Samar-samar, dari dalam sana terdengar suara yang tak jelas apa isi kalimatnya. Berkali-kali. Ini persis seperti waktu aku “kesurupan” dulu.
Entah yang ke berapa kalinya suara itu terus berucap, aku mulai memperhatikannya. 
“Siapa antum?” begitu katanya.
Aku menyerah.
“Bobby, Mahbub Junaidi,” jawabku.
“Dari mana antum?” tanya suara itu lagi.
“Dari Tuhan Yang Maha Esa dan dititipkan di bumi,” katanya, begitu jawabanku.
“Apa yang antum mau?” tanya suara itu. Volumenya, seperti dari besar dan jelas terdengar tiba-tiba mengecil dan menghilang. Aku tak dengar apa-apa lagi setelah itu. Hanya sepi, gelap dan dalam. Itu saja.
Katanya, setelah pertanyaan itu aku meracau. Berkata-kata tak jelas dengan bahasa apa dan mengatakan apa. Seperti orang kumur-kumur.
Pada sikap duduk bersila aku terus meracau. Katanya lagi, aku sudah lupa diri dan benar-benar meracau sambil menangis.
Aku tak lupa diri. Di dalam sana aku malah menemukan diri sendiri. Tanpa wujud namun sangat terasa keberadaannya. Malah saat itu aku lupa kalau aku masih punya jasad.
Mungkin, katakan saja diriku tak sinkron dengan jasadku. Akibatnya aku meracau. Padahal rasanya, di dalam sana aku sedang menyesal, bersalah, ketakutan dan sendirian.
Tiba-tiba aku gelagapan. Seperti orang tenggelam yang akhirnya bisa muncul ke permukaan kemudian menarik nafas dalam-dalam dan terburu-buru.
Entah dalam hitungan persekian berapa detik. Seperti layar televisi yang baru dinyalakan, pandangan tiba-tiba terang. Mula-mula samar, kemudian jelas sedikit-sedikit hingga akhirnya semua materi yang ada benar-benar jelas terlihat.
Badan penuh peluh, nafas ngos-ngosan dan persendian terasa ngilu ketika kesadaran kembali sepenuhnya. Aku kelelahan seperti habis melakukan pekerjaan berat di dalam air kemudian menyelam lama sekali.
Ya aku kelelahan lantas merebahkan badan sekenanya. Sesekali, mata terpejam dan terbuka. Aku lelah dan rasanya mau tidur saja. Tapi aku ga ngantuk.
Nafas mulai teratur, ngilu di persendian berangsur hilang. Sekujur badan mulai terasa ringan dan perasaan tenang sekali. Benar-benar tenang dan ringan.
Morgan memijit-mijit pundak kemudian menyodorkan segelas kecil air mineral hangat. Pasca meneguk, keringat keluar lagi dan deras sekali hingga basah seperti habis mandi.
Aku minta air lebih banyak lagi lantas menenggak lahap. Betul aku kehausan dan Morgan memberikan sebotol besar air mineral kemasan yang aku minum sedikit demi sedikit.
“Ente pernah belajar di mane?” begitu katanya membuka obrolan setelah aku dinyatakan benar-benar sudah pulih.
“Maksudnya Bib?” tanya saya.
“Ente pernah berguru ilmu di mane? Barusan ente kesurupan. Ngomong ga jelas kaya kumur-kumur, muka ente pucet dan nangis-nangis. Yang begini biasanye pernah berguru dan megang amalan,” katanya mempertegas pertanyaannya. Saya menangkap mau dibawa kemana arah pertanyaan itu.
“Ga pernah, ane ga pernah berguru ke mane-mane Bib. Kalo sekolah iye. Saya pernah kuliah. Selain itu ga ada yang lain,” kata saya.
“Di badan ente ada yang nemplok, tapi tadi ane udah keluarin semua jin dan setan yang udah nempel,” begitu katanya.
“What. Jin, setan, nemplok di badan gue?” kata saya dalam hati.
“Ente kesurupan barusan. Ruqyah sukses. Semua yang nemplok udah pada pergi. Ente udah bersih sekarang. Ane yakin banget itu Jin udah lama di dalem badan ente,” kata dia penuh keyakinan.
“Maksudnya jin ada di dalem badan ane udah lama itu ape?” tanyaku.
“Jadi begini. Jin dan setan itu emang suka gangguin manusia. Dia masuk ke badan orang lewat urat nadi terus bercampur dengan darah. Akhirnya pengaruhin orang yang dimasukinnye itu.
Yang dimasukin emang berasa biase aje. Ga ada yang aneh. Cuma bawaannye ye gitu dah, mau ngerjain yang jelek-jelek mulu. Perasaannye sering ga tenang. Nah tadi ente diruqyah udah keluar semua setan dan jin yang di dalem. Sekarang berasa enteng kan?” jelasnya kemudian bertanya.
“iye,” jawab saya.
“Alhamdulillah,” kata dia.
“Pesen ane, ibadah lebih rajin lagi deh. Biar jin ga masuk lagi. Idup jadi lebih tenang, lebih deket sama Allah,” tutupnya.
“Astaga. Ya Allah, aku kebingungan dengan penjelasan Habib Morgan. Bagaimana bisa Jin masuk ke dalam badan melalui urat nadiku. Sedangkan Engkau mengatakan bahwa, Engkau lebih dekat ketimbang urat nadiku sendiri.
Kalau Jin dan setan itu benar masuk lewat urat nadiku, bukankah dia pasti berpapasan denganMu di jalan Ya Allah ? Kenapa tak Kau cegat saja dia agar jangan masuk Ya Allah? Atau jangan-jangan, ketika jin dan setan masuk, Engkau sedang tidak ada di tempat?
Habib Morgan bilang, jin dan setan itu sudah lama bersemayam di dalam badanku karena aku pernah berguru dan pegang amalan. Ampuni kalau aku katakan orang ini sok tahu Ya Allah.
Engkau Maha Tahu Ya Allah. Aku tak pernah berguru apapun selain kuliah. Itu pun nilainya jelek-jelek. Kalau pun kebetulan aku sholat dan membaca doa-doa wirid, Engkau Maha Tahu kepada siapa itu aku tujukan.
Apa mungkin karena aku lupakan Engkau cukup lama dan asyik berdosa ria, lantas jin dan setan menggantikan posisiMu Ya Allah? Aku kebingungan Ya Allah. Tunjukkanlah jalan yang lurus kepadaku,” kataku dalam hati sambil memprotes entah kepada siapa.
“Bib mohon maaf sebelumnye. Kalau antum bilang jin dan setan udah lama di dalem badan ane karena ane berguru dan pegang amalan, ane bingung nih.
Seinget ane dengan sesadar-sadarnye, ane ga pernah berguru soal yang macem-macem kecuali soal kuliah doang. Bener ane pernah belajar soal spiritual. Ane berangkatnye dari pertanyaan siape ane sebenernye, maunye ape dan ape kesalahan yang udah ane kerjain. Itu sering ane tanyain ke diri sendiri. Kalo kebetulan ane sembahyang,” kataku. 
“Sholat,” kata dia menyela sambil mengoreksi.
“Iye itu. Ane juga wirid kalo abis sholat. Ape aje ane bace yang ane tahu. Ye istighfar, nyebut asmaul husna, terakhir ane baca al-Fatihah. Ga pernah lebih dari itu,” jelasku.
“Bener, ane pegang amalan. Satu ayat, ga lebih. Bunyinye Iqro. Ane ngamalin itu doang di keseharian ane. Bener ane engga bersih. Segala yang berbau maksiat masih ane kerjain, kecuali judi,” tutupku.
“Jadi begini,” kata dia memulai.
“Jin, setan bisa masuk kapan aje saat kite lengah. Jangan dikira di dunia ini cuma ada orang doang. Ada makhluk lain yang kite ga liat. Beberapa di antaranye ye itu, jin dan setan.
Ente pernah lengah makanye jin masuk. Barusan ente bilang sendiri kalo ente masih suka maksiat. Pas ente lagi kerjain itu, die masuk dan betah di dalem badan ente. Makin ente sering ngerjain maksiat, makin betah die. Badan ente enak ditempatin.
Nah tadi itu, jin, setan, berantem ama doa-doa yang ane bacein pas ente diruqyah. Makanye ente ngomong ngaco dan nangis-nagis. Untung aje yang di dalem badan ente itu bisa dikeluarin,” jelasnya terdengar diplomatis.
 Sungguh, aku tak tangkap sedikit pun yang bisa disimpulkan dari penjelasan itu. Awalnya, dia bilang saya kuat dan berani makanya kuntilanak dari bangsa jin itu takut, karena aku yakin dengan kekuasaan Tuhan. Tapi belakangan, dia bilang kalau di badanku ada jin yang sudah lama bersemayam.
Dia bilang kalau jin dan setan itu masuk lewat urat nadiku, dan tadi bertarung dengan doa-doa yang dibacakan. Sementara Tuhan bilang, kalau Dia lebih dekat ketimbang urat nadiku sendiri.
Kalau setan dan jin yang mempengaruhi pikiran dan tindakanku itu sudah dikeluarkan dari badanku, apa aku bakal kehilangan nafsu dan tak tergoda sedikit oleh yang asik-asik tapi dosa ?
“Ya Allah, tunjukkanlah jalan yang lurus,” kataku meminta dalam hati.



Komentar